Belajar dari ‘Doktrin’ Mario Teguh

Kondisi masyarakat kita berbeda dengan kondisi sosial di negara Timur Tengah. Konsep dan metode dogma yang diterapkan Mario Teguh di sini jelas tidak akan bisa diterima sosial di sana.

SEBUAH dogma motivasi dan ’siraman rohani’ (pengajian) yang dikemas dalam sebuah acara televisi “Mario Teguh, Golden Way” yang berusia setahun (2/8/2009), menyuguhkan dan menyajikan konsep modern serta matode inovatif yang dapat diterima segala lapisan masyarakat dari berbagai daerah, suku dan agama yang berbeda.

Mario Teguh adalah sosok ‘ustad’ atau ‘rohaniwan’ atau ‘motivator ulung’ di balik sukses pengajian “Golden Way”, yang memang terkesan borjuis, eksklusif dan prestisius. Filosofi dogmanya ada di balik permainan apik dalam mengolah kata-kata.

Kalimat yang diucapkan sederhana, jelas, tegas, lugas dan mudah dicerna siapapun yang mengikuti secara seksama acara mau’idzoh hasanah (ceramah dogma) ini, yang tidak pernah menyertakan sumber nukilan (referensi) dari sebuah kitab suci atau literatur keagamaan.

Mario Teguh menjadikan para ‘fans religiusnya’ atau ‘fans dogmatisnya’ terus menerus dalam kondisi penasaran tentang siapa hakikat dirinya yang sebenarnya. Hingga kini, penulis terus bertanya-tanya tentang sosok Mario Teguh. Apakah dia ustadz yang beragama Islam? Atau rohaniwan yang beragama Kristen? Atau, dia seorang suhu yang beragama Hindu atau Buddha?

Fenomena inilah yang menjadikan acara “Mario Teguh Golden Ways” ‘pengajiannya’ selalu menyedot perhatian kaum intelektual yang strata sosialnya multidimensi.

Ada statemen menarik dari Mario Teguh. “Kalau saya menukil ayat dari sebuah kitab suci (apapun), maka Anda tidak berhak mendebat ayat tersebut. Padahal, saya menghendaki adanya perdebatan (tanggapan) dari Anda semua. Saya manusia, maka sayapun berbuat salah.”

Metode diskusi yang diterapkannya telah mengubah suasana audensi menjadi lebih hidup dan bergairah, meski tema pembahasan yang diangkatnya tidak melulu aktual. Sebagaimana tema pada (9/8/2009) adalah “Wanita, Tahta dan Harta”; padahal, kejadian yang sedang memanas adalah “Memburu Noordin M Top”.

Apapun pembahasan yang disuguhkannya selalu memberikan opini dan nuansa baru yang bertentangan dengan kultur (adat) sosial yang selama ini diyakini sebagai disiplin ilmu yang valid. Sebagaimana dogma kultural yang mensinyalir bahwa wanita adalah faktor penghalang dan perusak karier Bani Adam (laki-laki).

Bagi Mario Teguh, justru ‘magnet’ wanitalah yang dapat menjadikan kaum laki-laki lebih dewasa dan bertanggung jawab. Bahkan, daya tarik wanitalah yang sering kali mengubah nasib dan karier seseorang menjadi lebih baik. Percayalah !

Kemampuan Menalar
Menggeluti profesi sebagai ustadz, rohaniwan, motivator atau orator podium harus menguasai materi menarik, memiliki retorika (ilmu berpidato) yang mumpuni, menguasai keadaan audiens, memiliki kemampuan (skill) menalar dan siap membuka diri dengan lapang dada ketika ada sanggahan atau kritikan yang tajam.

Pengajian keagamaan selama ini menyuguhkan materi-materi klasik yang kurang menarik, retorika yang membosankan, dogma-dogma religius ‘paten’ yang punya kesan tidak boleh disanggah atau didebat. Kemampuan menalar dari sejumlah pengasuh pengajian dalam menjawab berbagai pertanyaan forum terkesan ‘cekak’ (pas-pasan) dan tak kena sasaran atau jauh dari kata memuaskan.

Konsep mendasarnya ada pada kemampuan menalar dari materi bahasan yang diangkat. Mario Teguh, misalnya memiliki kemampuan menalar mumpuni yang belum dimiliki siapapun yang memimpin suatu majelis taklim, forum diskusi atau forum organisasi sosial-keagamaan.

Padahal, dalam asas dasar agama apapun, hanya pembahasan yang menyangkut masalah akidah (iman) dan ibadah saja yang tidak boleh menggunakan logika akal (nalar). Selain itu, justru sering terjadi diferensiasi (perbedaan) yang tajam mengenai mukamalat (tatanan) kehidupan sehari-hari yang merujuk pada penggunaan logika akal sehat kaum cendekiawan.

Meski bobot dan kualitas ilmu agamawan bersumber dari literatur dan pijakan kitab yang sama, namun nalar dan cara pandang masing-masing seharusnya difokuskan pada peningkatan gairah belajar dan semangat menuntut ilmu dari para audiensnya. Fakta riilnya, antusiasme masyarakat dalam belajar dan menuntut ilmu dari sebuah pengajian misalnya, hanya terjadi pada awal-awal pertemuan saja.

Selanjutnya, acara pengajian semakin hari semakin sepi dan tidak ada gairah lagi. Ironis bukan?
Acara “Mario Teguh, Golden Ways” meski bukan acara pengajian agama, tapi telah memberikan wacana dan nuansa pemikiran baru yang mengetuk hati para pengasuh pengajian agar lebih membuka diri dalam menalar suatu problem dan berkenan lapang dada dalam menerima kritik atau saran dari setiap audiens.

Bukanlah forum siraman rohani yang baik bila pengikutnya (santri) selalu datang dan pergi silih berganti. Siapapun yang berprofesi sebagai pembimbing dalam sebuah forum pengajian harus memutar otak untuk membuat variasi pengajaran atau doktrinitasnya dengan nalar yang logis dan retorika yang funny agar mereka yang datang mendapatkan ilmu dan motivasi yang dapat memberikan semangat dalam menghadapi problematika kehidupan.

Kondisi masyarakat kita berbeda dengan kondisi sosial di negara Timur Tengah, semisal di Kuwait, Arab Saudi, Yordania atau di Iran. Konsep dan metode dogma yang diterapkan Mario Teguh di sini jelas tidak akan bisa diterima sosial di sana. Warga di sana memiliki jiwa pasif, yang hanya tunduk pada dogma religius yang difatwakan ulama dengan menyebut dalil-dalilnya yang valid dan yang tertera dalam kitab suci.

Adapun pendapat atau pandangan yang tidak menggunakan dasar dari sumber profetis (wahyu) harus diabaikan. Apalagi, jika sebuah pendapat bertentangan dengan tatanan yang telah digariskan, maka penyampaian gagasan itu dianggap bidah (hal baru) yang menyesatkan. Dainya dapat dijebloskan ke dalam penjara dengan tuduhan menyebarkan hal-hal yang bidah dan menyesatkan umat. Padahal, hanya Tuhanlah yang mengetahui kebenaran sesungguhnya.

Sumber: Surya, Jumat, 21 Agustus 2009

Label: , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda