Slumdog, Belajar dari India

Oleh: Sirikit Syah

Malam Minggu ini enaknya kita ngobrol tentang film. Bila bicara film, tak bisa tidak, kita mesti membicarakan India. Dari dulu saya suka film India. Sejak tahun 1960-an, ketika tinggal di Jalan Melati, Surabaya, saya bergabung dengan para tetangga suka nonton film bersama-sama di dinding salah satu rumah atau layar tancap, yang talinya diikatkan pada pohon-pohon mahoni. Saya mengenal film bisu Abbot & Costello, Charlie Chaplin, dan film India, sejak usia kanak-kanak.

Sekarang saya masih suka film India. Menurut saya film India amat berakar pada budayanya. Tidak terpengaruh pada budaya barat. Adegan tari-tarian yang menjadi ciri film India tetap dipertahankan, tidak dianggap kuno. Ceritanya juga menarik, kebanyakan melodrama, dan sangat hitam putih. Masyarakat mudah memahai ceritanya: si jahat pasti kalah oleh si baik. Untuk film Indonesia, saya sering bingung, film Indonesia ini merefleksikan apa, atau siapa?

Ketika saya tinggal di Inggris selama satu tahun (2001-2002), film India sudah menjadi tren tontonan di bioskop-bioskop di London dan di beberapa kota di Amerika Serikat. Saya pernah membaca kritik film yang mengecam ”kemunafikan” film-film India: ”Mereka menjadikan adegan cium dan ranjang sebagai tabu. Tidak pernah ada adegan itu di film India. Tetapi lihat cara mereka bergoyang, lirikan mata, gerak tubuh dan mimik wajah yang mengundang gairah, bahkan kedekatan wajah begitu rupa. Dan mereka masih menganggap film-film kita vulgar? Bukankah ini munafik?” Penulis kritik tampak keki. Dia sulit memahami budaya India: boleh menari dan lirikan mata, asal jangan berciuman atau beradegan ranjang.

Setelah sekian tahun merasuki dunia perfilman internasional, akhirnya sebuah film India meraih penghargaan tertinggi: Piala Oscar. Tidak tanggung-tanggung, Slumdog Millionaire meraih 8 Oscar termasuk Film Terbaik dan Sutradara Terbaik. Slamet Raharjo dalam sebuah diskusi di Jakarta baru-baru ini berkomentar bahwa Slumdog bukan film India, melainkan film barat. ”Memang settingnya di India, pemainnya India, ceritanya khas India. Tapi pola pikirnya amat barat,” ujarnya. Toh, Slamet mengakui, sangat kagum pada skenarionya, yang berhasil mengeksplorasi berbagai aspek dari sebuah ide sederhana.

Baru-baru ini saya kongkow dengan kawan-kawan lama eks-Surabaya Post. Budiono Darsono, pencipta dan pemilik detik.com. Dia dengan bangga menceritakan sudah menonton hampir semua film nominator Oscar, termasuk Slumdog Millionaire dan The Curious Case of Benjamin Button. ”Thanks to technology,” kata penggila film ini.

“Bisa juga thanks to piracy,” pikir saya. Sikap saya terhadap film berbeda. Anak saya menawari film-film baru itu, yang didapatnya melalui download, saya tolak. Saya juga langganan toko VCD/DVD di Ambassador Mall, yang selalu saya datangi setiap saya ke Jakarta, tetapi saya menolak membeli film-film yang belum masuk bioskop Indonesia. Biasanya saya mencari film-film lama: Gone with the Wind, The Sound of Music, Schlinder List, Life is Beautiful, atau film baru yang saya luput menontonnya di bioskop.

Saya berpandangan, menonton film paling nikmat di bioskop. Itulah gunanya bioskop. Saya setia menunggu menonton film baru diputar di bioskop. Bila suka, saya membeli VCD/DVDnya untuk dikoleksi. Tahun ini, tentu saya ingin menonton dan mengoleksi Slumdog Millionaire. Semata-mata bukan karena dia pemenang Oscar (saya juga mengkoleksi film-film tidak terkenal dan bukan pemenang Oscar). Namun terutama, karena ini adalah sebuah film India yang lain dari yang biasanya.

Ini adalah film yang berlatar belakang kehidupan masyarakat miskin di Mumbai, sebuah wilayah Muslim di India, yang baru-baru ini dihebohkan oleh sebuah ledakan bom. Wajah India di film ini amat berbeda dengan wajah India di film Sharuk Khan atau bintang Bollywood terkenal lainnya. Skenario, yang kata Slamet Raharjo sederhana itu adalah sesuatu yang ’in’ di dunia nyata saat ini, yaitu ’reality show’, program kuis berhadiah, yang disukai para penonton televisi di seluruh dunia.

India memang patut dipelajari. Ini adalah negara demokrasi terbesar di dunia, penduduknya lebih dari 1 miliar. India juga penghasil film terbanyak di dunia, lebih dari 1.300 film setahun. Bandingkan dengan AS yang hanya sekitar 300-400 film setahun.

Bicara India tak hanya bicara seni budaya, tetapi juga intelektualitas dan teknologi. India memiliki rasio jumlah perguruan tinggi yang terbanyak di dunia, sedikit di bawah Palestina, dibanding jumlah penduduk.

Saya ingin berbagi cerita yang saya kutip dari buku Thomas L. Friedman “The World is Flat”. Seseorang yang menumpang pesawat Amerika di dalam negeri (antar negara bagian) kehilangan kopornya. Lalu menelepon call center, yang menjawab adalah seorang petugas call center di India. Petugas itu melayani dengan bahasa Inggris yang nyaris sempurna, minta pelapor bersabar menunggu, sementara dia melacak keberadaan kopor yang ketlisut tadi. Tak sampai dua jam melacak melalui layar komputer di sebuah tempat yang terpisah samudra dan benua dari tempat kejadian, sang petugas akan menemukan dimana kopor itu berada dan memberi jawaban memuaskan pada kastamer.

Itulah kekayaan India, sumber daya manusia, potensi intelektualitas dengan kuantitas dan kualitas perguruan tinggi, buku-buku yang disubsidi sehingga harganya amat murah dan terjangkau rakyat.

India adalah sumber outsource utama para negara maju yang tak punya cukup persediaan SDM. Maka, kalau masih ada pejabat kita yang mengeluh “Indonesia ini kebanyakan orang sehingga susah mengurusnya”, lebih baik secara gentleman dia mundur saja jadi pejabat. SDM adalah kekayaan yang lebih tinggi nilainya daripada SDA apapun termasuk minyak. Kita mesti belajar dari India, tak usah malu-malu.

Sumber: Surabaya Post, Sabtu, 28 Februari 2009

Label: , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda