Pulang Oscar, Balik ke Gubuk Kumuh

www.funonthenet.in: Rubina Ali di dalam gubuknya. Meski miskin, dia dan kawan-kawannya bisa cool di pesta Oscar yang begitu mewah.

Anak-anak itu ada di sana. Di panggung paling megah di dunia, perhelatan ke-81 Oscar. Status mereka tidak tanggung-tanggung pula: pemenang utama. Inilah dunia gemerlap yang bahkan dalam mimpi mereka pun belum pernah mampir. Begitu kembali ke Mumbai, mereka kembali ke dunia nyata: ke salah satu perkampungan pemulung paling kumuh di India.

Oleh: Achmad Supardi

Ya, kru Slumdog memang sedang di puncak kebahagiaan mereka. Namun, di antara baju gala dan pesta paling gemerlap di dunia, sejumlah bocah pendukung film itu menyimpan kegelisahannya sendiri. Mereka kehilangan tempat tinggal!

Adalah Rubina Ali dan Azharuddin Muhammad Ismail, dua pendukung film Slumdog yang memiliki kegelisahan terdalam. Meski filmya sukses besar, menjadi terbaik di ajang Oscar dan Golden Globe, namun keduanya tetap tinggal di pemukiman kumuh Kota Mumbai.

Ali hanya mendapatkan bayaran 500 poundsterling (sekitar Rp 8,5 juta) sementara Ismail hanya dibayar 1.700 poundsterling atau sekitar Rp 29 juta untuk kerja setahun. Angka ini jelas di bawah pendapatan rata-rata pembantu rumah tangga di sana.

Dengan bayaran itu, kedua bocah memang bisa bersekolah dan menerima tunjangan 20 pounsterling untuk buku dan makanan. Namun demikian, mereka tetap hidup di lingkungan yang mengenaskan. Orangtua mereka tidak tahu menahu tentang dana perwalian yang kabarnya dibuat atas nama kedua anak itu.

“Orangtua kedua bocah berharap keterlibatan anak mereka di film itu bisa menjadi tiket untuk keluar dari lingkungan kumuh mereka. Kesuksesan film itu membuat orangtua kedua bocah menyadari betapa kecil bayaran yang diterima anaknya,“ demikian tulisan sebuah media di India.

Kondisi Ismail kini justru lebih buruk lagi. Gubuk liar yang ditinggali dia dan keluarganya sudah dihancurkan pihak berwenang Mumbai. Kini keluarganya tinggal di atas tanah beratap terpal. Sementara Ali tinggal di sebuah gubuk tak jauh dari situ.

Mendapat kritik ini, Juru Bicara Fox Searchlight –produsen film Slumdog-- membantahnya. Menurutnya, Fox bangga karena telah memberi bayaran yang lebih dari layak.

“Untuk kerja 30 hari, kedua bocah itu mendapatkan bayaran 3 kali lipat gaji tahunan karyawan lokal di sana," demikian pengumuman Fox.

Tiket Perubahan

Di luar kontroversi ini, orangtua kedua bintang cilik itu kini mulai berharap. Ada asa bahwa mereka takkan lagi tinggal di gubuk-gubuk liar itu.

Dari gubuk warna merah muda, Munni Qureshi berlinang airmata menyaksikan anaknya, Rubina Ali, hadir di pesta Oscar yang demikian megah. Airmatanya mengalir lagi kala matanya bergerak agak ke pinggir, menjauhi siaran televisi. Di lantai yang hanya dilapisi perlak plastik, tiga anaknya tidur.

Di luar gubuknya, warga sibuk dengan aktivitasnya sendiri. Ada yang mandi, ada pula yang mengumpulkan sampah –pekerjaan utama di pemukiman kumuh itu.

“Saya tak pernah membayangkan hal seperti ini akan terjadi. Ini momen yang sangat membanggakan bagi saya. Jika ia menang, saya harp ada satu perubahan yang datang,” katanya.

Ya, Munni Qureshi tak pernah mimpi akan melihat Rubina Ali tampil begitu cantik di antara para bintang dunia. Anak pemulung yang tampil dalam balutan gaun biru itu tak kalah oleh mewahnya panggung Oscar . Henna menjadi dekorasi unik di lengannya. Sementara teman-temannya yang laki-laki memakai baju gala resmi, lengkap dengan tuksedonya.

Bagi Rubina dan Azhar, pekan lalu adalah masa paling sibuk. Di waktu yang mepet, mereka harus mengurus paspor, visa, dan tiket. Maklum, orangtua mereka yang pemulung awalnya tak mengizinkan mereka pergi. Mereka terlalu khawatir anaknya tak kuat menanggung beban bergaul dengan para artis yang status lainnya adalah para jutawan itu. Setelah hari-hari yang melelahkan, Jumat lalu mereka bisa rileks. Itulah saat mereka berbelanja, mencoba hadirkan penampilan wah di panggung dunia. Tentu mereka juga mendapat sejumlah nasihat agar penampilan mereka di panggung Oscar tidak memalukan.

Membawa para bocah ini ke Kodak Theater bukanlah hal mudah bagi kru lain yang lebih dewasa. Simon Beaufoy yang menyumbang Oscar bagi Slumdog di kategori screenplay khawatir anak-anak itu “tidak kuat” datang ke acara paling mewah di dunia itu.

“Tapi ternyata mereka begitu cool. Kami khawatir, namun mereka malah berlari-lari senang. Kini saya yakin bahwa membawa mereka ke ajang ini adalah keputusan yang tepat,” kata Beaufoy.

Sutradara Danny Boyle juga gembira para bintang cilik itu diperkenankan hadir di ajang Oscar. “Inilah klimaks yang sebenarnya,” kata Boyle. “Melihat mereka begitu gembira, kami merasa semua kerja keras ini jadi sepadan,” lanjutnya.

Namun bagi para aktivis sosial, kegembiraan itu tak cukup hanya di sekitar panggung mewah Oscar saja. anak-anak itu harus pula bisa tetap bahagia kala pulang ke rumah. Termasuk bagi Rubina dan Azhar yang berarti harus pulang ke komunitas miskin di pinggiran Mumbai. (*)

Sumber: Surabaya Post, Selasa, 24 Februari 2009

Label: , ,

Demam Tari Bollywood

Saking gandrungnya dengan gerakan tari India itu, banyak pemuda yang pergi ke kursus tari seperti di Bollywood West di Denver.

Sekolah tari Bollywood West di Denver dibuka tahun 2006 sebagai kursus tari pertama di Colorado yang fokus pada tarian Bollywood. Empat kali seminggu studio tari yang punya dua cabang itu dipenuhi peserta antusias.

Karena jumlah peserta mendadak membludak, bulan depan latihan akan dipindah ke studio yang lebih besar. Bukan hanya tari India saja yang dapat dipelajari di Bollywood West.

Mulanya Kansal ragu mengajar tari India di Denver. "Saya tidak yakin apakah semua berjalan seperti yang saya harapkan. Namun, belum satu bulan, saya harus membuka kelas kedua. Ini benar-benar sebuah kejutan."

Sebuah organisasi nirlaba yang aktif mempromosikan gaya hidup sehat, American Council on Exercise, mengatakan tarian etnik seperti salsa, tarian perut, dan tarian Bollywood, digemari banyak orang.

Menurut Jessica Matthews, salah seorang koordinator di American Council on Exercise. Kelas-kelas tari semacam ini menarik orang yang tidak suka berolah raga dengan latihan konvensional seperti berlari di treadmill.

Tina Striegel, perempuan 45 tahun yang mengikuti kursus tari di Bollywood West di Denver mengatakan, dirinya ingin mencoba sesuatu yang beda. Dia juga mengaku suka filmnya. “Saya jatuh cinta dengan film Bollywood. Termasuk 'Slumdog Millionaire',” kata perempuan yang berprofesi sebagai akuntan itu menjajal tarian.

Striegel hanya satu dari puluhan perempuan yang kena demam tari India di Denver, Colorado, Amerika Serikat (AS). Penggemar produk Bollywood itu menginginkan agar tarian tradisional India dikombinasikan dengan gerakan hip-hop sebagai alternatif olah tubuh.

Bersama belasan perempuan lain, Striegel menggerakkan pinggul. Satu tangan didekatkan ke mulut seolah hendak meneriakkan nama kekasih. Sementara satu kaki diangkat sembari melompat dalam satu garis. Sang pelatih, Renu Kansal mengingatkan peserta agar tidak lupa melambaikan tangan perlahan.

Layaknya film Bollywood, para peserta kursus mencoba menceritakan sepenggal kisah cinta mereka. Sesuatu yang tak biasa. Tiap minggu malam, para peserta kursus juga beramai-ramai menonton film Bollywood.

Mereka juga menghadiri festival budaya India dan mempelajari tarian tradisional India yang biasa diperagakan pada momen-momen khusus seperti pernikahan atau temu keluarga.

"Saya sudah belajar semua jenis tari, tarian modern, salsa, swing. Tapi tidak ada yang sangat membuat saya tertarik seperti ini. Saya suka budaya India, orang-orangnya, dan masakannya," kata salah seorang peserta kursus, Claire Polsky, seperti dikutip Associated Press, pekan lalu. gir

Sumber: Surabaya Post, Jumat, 27 Februari 2009

Label: , ,

Slumdog, Belajar dari India

Oleh: Sirikit Syah

Malam Minggu ini enaknya kita ngobrol tentang film. Bila bicara film, tak bisa tidak, kita mesti membicarakan India. Dari dulu saya suka film India. Sejak tahun 1960-an, ketika tinggal di Jalan Melati, Surabaya, saya bergabung dengan para tetangga suka nonton film bersama-sama di dinding salah satu rumah atau layar tancap, yang talinya diikatkan pada pohon-pohon mahoni. Saya mengenal film bisu Abbot & Costello, Charlie Chaplin, dan film India, sejak usia kanak-kanak.

Sekarang saya masih suka film India. Menurut saya film India amat berakar pada budayanya. Tidak terpengaruh pada budaya barat. Adegan tari-tarian yang menjadi ciri film India tetap dipertahankan, tidak dianggap kuno. Ceritanya juga menarik, kebanyakan melodrama, dan sangat hitam putih. Masyarakat mudah memahai ceritanya: si jahat pasti kalah oleh si baik. Untuk film Indonesia, saya sering bingung, film Indonesia ini merefleksikan apa, atau siapa?

Ketika saya tinggal di Inggris selama satu tahun (2001-2002), film India sudah menjadi tren tontonan di bioskop-bioskop di London dan di beberapa kota di Amerika Serikat. Saya pernah membaca kritik film yang mengecam ”kemunafikan” film-film India: ”Mereka menjadikan adegan cium dan ranjang sebagai tabu. Tidak pernah ada adegan itu di film India. Tetapi lihat cara mereka bergoyang, lirikan mata, gerak tubuh dan mimik wajah yang mengundang gairah, bahkan kedekatan wajah begitu rupa. Dan mereka masih menganggap film-film kita vulgar? Bukankah ini munafik?” Penulis kritik tampak keki. Dia sulit memahami budaya India: boleh menari dan lirikan mata, asal jangan berciuman atau beradegan ranjang.

Setelah sekian tahun merasuki dunia perfilman internasional, akhirnya sebuah film India meraih penghargaan tertinggi: Piala Oscar. Tidak tanggung-tanggung, Slumdog Millionaire meraih 8 Oscar termasuk Film Terbaik dan Sutradara Terbaik. Slamet Raharjo dalam sebuah diskusi di Jakarta baru-baru ini berkomentar bahwa Slumdog bukan film India, melainkan film barat. ”Memang settingnya di India, pemainnya India, ceritanya khas India. Tapi pola pikirnya amat barat,” ujarnya. Toh, Slamet mengakui, sangat kagum pada skenarionya, yang berhasil mengeksplorasi berbagai aspek dari sebuah ide sederhana.

Baru-baru ini saya kongkow dengan kawan-kawan lama eks-Surabaya Post. Budiono Darsono, pencipta dan pemilik detik.com. Dia dengan bangga menceritakan sudah menonton hampir semua film nominator Oscar, termasuk Slumdog Millionaire dan The Curious Case of Benjamin Button. ”Thanks to technology,” kata penggila film ini.

“Bisa juga thanks to piracy,” pikir saya. Sikap saya terhadap film berbeda. Anak saya menawari film-film baru itu, yang didapatnya melalui download, saya tolak. Saya juga langganan toko VCD/DVD di Ambassador Mall, yang selalu saya datangi setiap saya ke Jakarta, tetapi saya menolak membeli film-film yang belum masuk bioskop Indonesia. Biasanya saya mencari film-film lama: Gone with the Wind, The Sound of Music, Schlinder List, Life is Beautiful, atau film baru yang saya luput menontonnya di bioskop.

Saya berpandangan, menonton film paling nikmat di bioskop. Itulah gunanya bioskop. Saya setia menunggu menonton film baru diputar di bioskop. Bila suka, saya membeli VCD/DVDnya untuk dikoleksi. Tahun ini, tentu saya ingin menonton dan mengoleksi Slumdog Millionaire. Semata-mata bukan karena dia pemenang Oscar (saya juga mengkoleksi film-film tidak terkenal dan bukan pemenang Oscar). Namun terutama, karena ini adalah sebuah film India yang lain dari yang biasanya.

Ini adalah film yang berlatar belakang kehidupan masyarakat miskin di Mumbai, sebuah wilayah Muslim di India, yang baru-baru ini dihebohkan oleh sebuah ledakan bom. Wajah India di film ini amat berbeda dengan wajah India di film Sharuk Khan atau bintang Bollywood terkenal lainnya. Skenario, yang kata Slamet Raharjo sederhana itu adalah sesuatu yang ’in’ di dunia nyata saat ini, yaitu ’reality show’, program kuis berhadiah, yang disukai para penonton televisi di seluruh dunia.

India memang patut dipelajari. Ini adalah negara demokrasi terbesar di dunia, penduduknya lebih dari 1 miliar. India juga penghasil film terbanyak di dunia, lebih dari 1.300 film setahun. Bandingkan dengan AS yang hanya sekitar 300-400 film setahun.

Bicara India tak hanya bicara seni budaya, tetapi juga intelektualitas dan teknologi. India memiliki rasio jumlah perguruan tinggi yang terbanyak di dunia, sedikit di bawah Palestina, dibanding jumlah penduduk.

Saya ingin berbagi cerita yang saya kutip dari buku Thomas L. Friedman “The World is Flat”. Seseorang yang menumpang pesawat Amerika di dalam negeri (antar negara bagian) kehilangan kopornya. Lalu menelepon call center, yang menjawab adalah seorang petugas call center di India. Petugas itu melayani dengan bahasa Inggris yang nyaris sempurna, minta pelapor bersabar menunggu, sementara dia melacak keberadaan kopor yang ketlisut tadi. Tak sampai dua jam melacak melalui layar komputer di sebuah tempat yang terpisah samudra dan benua dari tempat kejadian, sang petugas akan menemukan dimana kopor itu berada dan memberi jawaban memuaskan pada kastamer.

Itulah kekayaan India, sumber daya manusia, potensi intelektualitas dengan kuantitas dan kualitas perguruan tinggi, buku-buku yang disubsidi sehingga harganya amat murah dan terjangkau rakyat.

India adalah sumber outsource utama para negara maju yang tak punya cukup persediaan SDM. Maka, kalau masih ada pejabat kita yang mengeluh “Indonesia ini kebanyakan orang sehingga susah mengurusnya”, lebih baik secara gentleman dia mundur saja jadi pejabat. SDM adalah kekayaan yang lebih tinggi nilainya daripada SDA apapun termasuk minyak. Kita mesti belajar dari India, tak usah malu-malu.

Sumber: Surabaya Post, Sabtu, 28 Februari 2009

Label: , ,

Jamal Melawan Kemiskinan

Sutradara: Danny Boyle
Produksi: Christian Colson
Penulis Naskah: Simon Beaufoy
Pemeran: Dev Patel, Freida Pinto, Anil Kapoor, Irrfan Khan, Ayush Mahesh Khedekar
Durasi: 120 min. Country
Rilis: Januari 2009 (India)

Kemiskinan selalu menyisakan ruang gelap. Potret tentang kelamnya kemiskinan terurai dalam nasib hidup Jamal Malik, lelaki berperawakan agak kurus asal sebuah kawasan kumuh di Mumbai, India. Tokoh dalam film Slumdog Millionaire itu kemudian sampai pada suatu titik penting yang akan menentukan arah hidupnya: apakah ruang gelap itu akan menjadi sesuatu yang terang benderang ataukah akan tetap gelap.

Film garapan Danny Boyle, Slumdog Millionaire memborong banyak nominasi di ajang Academy Award ke-81. Mereka seperti mengulang kesuksesan di Golden Globe. Saat itu mereka meraih empat nominasi.

Film ini meraih 10 nominasi Oscar. Prestasi itu hanya dikalahkan oleh film The Curious Case of Benjamin Button yang mendapat 13 nominasi. Dalam pengumuman nominasi Academy Award 2009 di Beverly Hills, Los Angeles, AS, Kamis (22/1), film tersebut meraih di antaranya adalah kategori film terbaik dan sutradara terbaik.

Meski dikritik sejumlah tokoh film di sana, karena film ini terlalu menonjolkan sisi buruk Mumbai, film ini mendapatkan sambutan meriah di mana-mana. Majalah seperti Time dari Amerika Serikat, koran Inggri Guardian bahkan menuliskan kisah kehidupan kumuh di kota itu.
Film ini dibuat oleh perusahaan film Inggris tapi dibintangi sebagian besar oleh aktor India. Syutingnya juga di Mumbai. Aransemen musiknya juga digarap oleh komposer asli India, AR Rahman.
Film ini berkisah tentang perubahan nasib pemuda bernama Jamal Malik. Tokoh yang diperankan aktor Dev Patel, mendapat kesempatan mengikuti sebuah acara kuis di televisi, Who Wants To Be A Millionaire, untuk memperebutkan hadiah 20 juta rupee. Jamal dapat menjawab satu per satu pertanyaan dalam kuis tersebut. Namun, saat selangkah lagi menuju hadiah utama, Jamal mendapat ujian berat. Karena berasal dari keluarga miskin dan tidak berpendidikan, ia dituduh berbuat curang. Interogasi polisi yang disertai siksaan –adegan ini menjadi pembuka film—harus dihadapi Jamal.

Namun, Jamal berhasil meyakinkan bahwa ia memang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam kuis itu. Pada bagian cerita ini, sang sutradara film, Danny Boyle, menunjukkan kepiawaiannya. Melalui cerita kilas balik, tergambar jelas bahwa setiap pertanyaan yang diajukan pemandu acara kuis terkait erat dengan jalan hidup Jamal. Penonton pun kemudian mendapatkan rangkaian kisah hidup Jamal, sejak masa kecil di kawasan kumuh Mumbai hingga menjadi seorang office boy di sebuah kantor operator telepon. Selain tentang kepahitan hidup Jamal sebagai orang miskin, cerita ini juga disertai kisah tentang kesetiaan dalam persahabatan dan percintaan. Beberapa adegan lucu yang diselipkan, membuat alur film ini terasa segar.

Toh, pada akhirnya, meski berkutat pada cerita tentang jalan hidup Jamal, film ini sesungguhnya berbicara tentang problematika orang-orang miskin secara universal, serta wajah sebuah kota yang pincang. Intinya, untuk bisa bertahan di sebuah kota yang dipadati kaum urban dan dibalut persolan kesenjangan sosial, beban orang-orang miskin sangat berat. Bahkan acapkali mereka harus akrab dengan kekerasan. Mereka menjalani hidup tanpa kepastian masa depan. Kejahatan, eksploitasi anak-anak jalanan, prostitusi, gangster, hingga konflik sara, seperti tergambar dalam film ini, begitu akrab dengan orang-orang miskin.

Melalui visual yang kuat, film yang diangkat dari buku karya seorang diplomat India, Vikas Swarup, ini mampu menampilkan potret kemiskinan secara nyata. Visual tentang kawasan kumuh yang padat, WC kayu di atas sungai, kereta api yang padat hingga penumpang naik ke bagian atap, orang-orang mandi dan mencuci di sungai yang kotor, para pemulung di tempat pembuangan sampah, serta kehidupan anak-anak jalanan di kota yang semrawut, membuat cerita tentang kemiskinan terasa begitu kuat dan dekat. Apalagi untuk warga Jakarta, pemandangan seperti itu sesungguhnya tidak asing.

Pada bagian akhir film ini, penonton sengaja dibuat deg-degan oleh pertanyaan: Apakah Jamal akan berhasil memenangkan hadiah 20 juta rupee? Apakah Jamal akan berhasil mendapatkan cinta Latika (diperankan Freida Pinto), wanita pujaan yang pernah direbut sahabatnya dan diperistri seorang tokoh gengster?

Meski dikritik sejumlah tokoh film di sana, karena film ini terlalu menonjolkan sisi buruk Mumbai, film ini mendapatkan sambutan meriah di mana-mana. Majalah seperti Time dari Amerika Serikat, koran Inggri Guardian bahkan menuliskan kisah kehidupan kumuh di kota itu.

Menanti jawaban-jawaban itu dalam film ini memang menjadi suatu hiburan. Namun jiwa dalam film ini sesungguhnya terletak pada kisah panjang seorang Jamal dalam melawan kelamnya kemiskinan. gir

Sumber: Surabaya Post, Minggu, 15 Februari 2009

Label: , ,