Cinta Digital, Bertemu Langsung Menikah
BUKAN hal baru bahwa teknologi digital mutakhir sanggup melipat, meringkas, mereduksi, atau bahkan memanipulasi realitas (baca: ruang dan waktu) yang selalu berjarak. Sudah jamak diketahui teknologi yang dirancang melalui pendekatan sistem informasi itu mampu menjadi mediator ekspresi cinta dan perasaan.
Namun kisah asmara Dila Ermono Wibowo menjadi spesial bukan karena ia memadu kasih lewat teknologi digital. Lebih dari itu ia mengesahkan asmara yang dirangkai melalui dunia digital hingga status pernikahan. “Awalnya cuma iseng cari teman di friendster. Ya karena jodoh, akhirnya sampai nikah,” ujar Dila saat dihubungi melalui telepon.
Warga Karang Rejo 3/21A Surabaya ini mengenal istrinya di situs pertemanan khas anak muda itu November 2007. Tubuh mereka terpisah laut dan pulau, namun cinta mereka saling memagut lewat jalinan internet.
Dengan modal nekad bercampur penasaran, sebulan kemudian ia pergi ke Balikpapan menemui istrinya untuk pertama kali sekaligus langsung melamarnya. Bak pucuk ditiba ulam pun tiba, Dila resmi menikah 5 Januari 2008, didampingi orangtua dan lima saudaranya.
“Mungkin kedengarannya aneh. Bahkan teman-teman bilang saya agak gila. Ya mungkin saja. Tapi buat saya, Tuhan menunjukkan jalan hidup ya lewat friendster itu,” lanjutnya filosofis.
Kini, di usia setahun pernikahan, Dila kembali mendapat anugerah. Ia baru saja memastikan istri yang dikenalnya secara digital itu hamil tiga bulan. “Semoga anak saya nanti laki-laki,” harapnya.
Tanpa Sentuhan
Dila tak mengira akan mendapat istri melalui friendster. Saat itu ia iseng searching di situs friendster yang memang dikenal memiliki jaringan internasional itu. “Salah satunya Ella, anak Balikpapan,” kisahnya.
Layaknya pertemanan digital, awalnya Dila hanya bisa memandangi potret Ella. Tak ada percakapan lisan, apalagi pertemuan dan sentuhan. Media komunikasi yang dipakai sekadar kalimat-kalimat pendek yang umumnya tertera di halaman testimonial atau pesan. Paling maksimal, Dila hanya melihat foto-foto close up milik Ella.
“Tapi itu bukan masalah. Foto juga sering menipu,” ujarnya. Lagipula, lanjut Dila, saat itu dirinya tidak mengharapkan sesuatu yang khusus. Dila sekadar ingin menambah teman, itu saja. “Ya seperti sama anak-anak friendster lainnya. Tidak kepikiran yang macam-macam,” tuturnya.
Lelaki kelahiran Surabaya, 19 Juni 1983 ini rutin berkirim kabar atau komentar ke friendster Ella. Saling merasa nyaman, mereka bertukar nomor telepon. Perkenalan itu kemudian meningkat dari sekadar saling membaca dan menulis kata-kata menjadi saling mendengarkan suara. Perlahan namun meyakinkan, kedekatan lebih intim mulai terjalin.
“Kami sering bertukarpikiran, tanya-tanya tentang visi hidup, cita-cita, dan usaha meraihnya kayak gimana. Seperti umumnya PDKT (pendekatan, red) lah, cuma yang lebih serius dan dewasa,” lanjutnya.
Dila seolah menegaskan pameo cinta sebagai takdir yang tak dapat diduga kapan dan melalui apa ia tiba. Terkadang alur cinta begitu berliku kemudian tiba-tiba terputus tanpa aba. Sebaliknya, kisah cinta bisa juga mulus, indah dan mudah secanggih teknologi digital.
Melacak Kelas Sosial
Kisah asmara Dila termasuk mulus, indah, mudah, dan canggih. Betapa tidak, saat itu Dila bekerja di call center Telkomsel. Di saat yang sama, Ella menggunakan kartu Telkomsel. Dengan sistem komputerisasi, Dila segera bisa melacak seluruh data terkait nomor ponsel Ella.
“Dari situ kan bisa dilihat dia tiap bulannya habis berapa, siapa aja yang ditelepon. Jadi bisa dikira-kira anak ini anak orang tajir atau tidak, baik atau tidak, track record-nya gimana,” ujar Dila. Ia mengaku perlu mendapat data yang lebih personal sebab kedekatannya pada Ella sampai pada tataran serius. Ia tak segan menjadi detektif cinta.
“Saya nggak mau main-main lagi. Kalau cocok, kenapa tidak? Saya bilang ke Ella saya ingin melamarnya. Dia bilang, nunggu apa? Wah, saya langsung bergerak,” ujarnya sambil tertawa.
Dila tak menampik fisik juga pertimbangan terdepan dalam memilih pendamping hidup. Maka setelah searching data, melihat foto-foto Ella melalui friendster, dan ngobrol lewat chatting selama dua bulan dirasa cukup, Dila dan orangtuanya memberanikan diri berkunjung ke Balikpapan. Ia ingin membuktikan kebenaran manusia Ella secara an sich, tak sekadar secara digital.
“Saya nekad saja waktu itu. Nothing to lose. Kalau memang sesuai harapan dan mau dilamar, ya lanjut. Kalau tidak, ya anggap saja silaturahmi,” kisahnya.
Ditemani kedua orangtuanya, Dila bergegas ke Balikpapan. Bandara menjadi saksi perjumpaan pertama kali antara Dila dan Ella. “Kikuk juga saat itu. Ya deg-degan kalau ternyata saya tak sesuai harapannya. Saya juga berpikir begitu,” ujarnya.
Dila dan keluarga langsung diajak ke rumah Ella, Jalan Al-makmur II No 65 Balikpapan Selatan. Di luar dugaan, orangtua Ella langsung menanyakan kesungguhan Dila. Tak butuh waktu lama bagi Dila untuk meyakinkan diri sendiri. Ia segera menyanggupi permintaan calon mertua yang baru dikenalnya sehari itu.
“Jadi itu sekalian jujuran (lamaran, red),” kisahnya. Karena calon istrinya orang Banjar, Dila diharuskan memberi sejumlah uang sebagai mahar. “Mertua saya minta Rp15 juta. Saya sanggupi, meski awalnya kaget juga,” lanjutnya.
Ibarat provider internet berkecepatan tinggi, Dila segera kembali ke Surabaya dan menyiapkan perangkat-perangkat penikahannya. “Saya pesan aksesoris dan undangan di Surabaya dan Yogyakarta. Kalau di Balikpapan mahalnya minta ampun,” ujarnya.
Saat memilih aksesoris dan bentuk undangan, ia juga berkonsultasi dengan Ella. Lagi-lagi, Dila menggunakan media friendster untuk mengirim gambar. “Kok ya untung surat nikahnya nggak dikirim via friendster juga,” selorohnya.
Paradoks Teknologi
Asmara digital yang dialami Dila merepresentasikan gejala paradoksal ilmu pengetahuan. Di satu sisi, kecanggihan teknologi mutakhir membuat spasialitas ruang dan waktu sedemikian tak berarti demi merenda cinta. Di sisi lain, asmara yang terajut sejatinya sekadar pada tataran ide: tanpa sentuhan fisik, tak berpretensi melanggar norma susila masyarakat.
Dengan kalimat lain, di zaman serba modern ketika perilaku asmara remaja cenderung identik dengan kemesraan fisik, Dila terjebak pada konsep pacaran ala Syekh Amongraga, tokoh di zaman Sultan Agung, yang menikahi perempuan yang tak pernah ia kenal sebelumnya.
Bagaimana kehidupan rumah tangga yang dibangun lewat teknologi digital? “Ya, masalah itu pasti ada. Tapi nggak sampai bikin saya mikir o… ini karena saya dapat istri lewat friendster,” ujar lelaki yang baru saja lolos seleksi PNS di Dinas Pariwisata Kota Balikpapan itu. (Kukuh Yudha)
Sumber: Surabaya Post, Rabu, 18 Februari 2009
Label: cinta digital
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda