Fotografi Murni atau Olah Digital?

Dayu
karya Gilroy Bezaliel Evan Yoewono yang merupakan pemenang tunggal lomba foto www.eyeka.asia

Sejak fotografi digital memasyarakat mulai awal tahun 2000-an, bisa dikatakan fotografi telah menjadi hal sehari-hari bagi siapa pun. Pada rumah sebuah keluarga menengah ke atas di Indonesia, setidaknya bisa didapati sebuah kamera digital atau minimal sebuah telepon seluler yang berkamera.

Oleh ARBAIN RAMBEY

Di mana-mana kini orang senang memotret karena memotret jadi begitu mudah. Pada pertunjukan musik mana pun, kini di tepi panggung banyak sekali penonton yang mengarahkan telepon seluler berkamera ke artis yang sedang tampil.

Sejalan dengan perkembangan fotografi digital, makin marak pula penggunaan perangkat lunak olah digital. Pelan tapi pasti, olah digital juga menjadi kegiatan sehari-hari seperti halnya mengolah kata dengan word processor.

Perkembangan olah foto dengan perangkat lunak sangat tajam. Orang terkagum-kagum kepada keahlian digital artist yang bisa mengolah foto biasa-biasa saja menjadi sangat menakjubkan. Pelan tapi pasti pula, banyak orang mulai menganggap fotografi sudah jatuh pada ranah permainan teknologi, bukan lagi cabang seni.

Benarkah demikian?

Tidak berubah

Sebenarnya, fotografi analog dengan film maupun fotografi digital sama persis. Kalau pada fotografi digital ada olah digital dengan perangkat lunak, sesungguhnya dalam fotografi analog pun terjadi hal yang kurang lebih sama. Hanya saja, dalam fotografi analog prosesnya lebih sulit dan hanya bisa dikerjakan orang-orang tertentu.

Menaikkan kontras foto, misalnya. Kalau dalam fotografi digital mudah dilakukan dengan tool level pada perangkat lunak Photoshop, pada fotografi analog sama mudahnya dilakukan dengan mengganti grade kertas cetakannya.

Demikian pula soal white balance, menurunkan saturasi (”melunturkan” warna), dodging (mengurangi kepekatan), atau burning (menambah kepekatan), dan lain-lain. Dalam fotografi analog juga bisa dilakukan.

Maka, orang-orang yang menganggap fotografi digital mengurangi seni fotografi sebenarnya dia tidak begitu mengerti pada realitas yang ada. Olah digital semata hanya memindahkan kamar gelap ke kamar terang.

Banyak hal yang disebut sebagai olah digital sesungguhnya hanyalah refining alias menyempurnakan foto saja. Hal yang juga normal dilakukan pada fotografi analog. Ketakutan berlebihan pada refining umumnya terjadi pada orang-orang yang terlalu lama berkecimpung di fotografi analog, tanpa mau belajar memakai perangkat lunak pengolah foto lagi. Istilah kasarnya, mereka sesungguhnya gagap teknologi.

Masuk ke dunia fotografi digital mengharuskan sang pelaku juga paham pada dunia komputer. Ini sebuah hal yang mutlak. Menguasai fotografi digital tanpa tahu dasar-dasar penyempurnaannya secara digital sama saja dengan mampu menyetir tapi tidak hafal jalan.

Kalaupun Anda sangat mendewakan fotografi murni, jangan tabukan program pengolah gambar. Foto Anda tetap murni foto sejauh Anda tidak mengolah secara berlebihan. Mengolah foto tidak ada bedanya dengan mengampelas patung yang telah Anda pahat.

Lebih jauh, kemajuan teknologi juga memungkinkan manusia untuk membuat sebuah foto tanpa menggunakan kamera, bahkan tanpa ada obyek aslinya sama sekali. Hal yang dinamai Computer Generated Picture (CGP) ini adalah gambar yang betul-betul mirip foto, padahal dihasilkan semata oleh olah digital memakai komputer.

Cabang baru dalam dunia grafis ini sesungguhnya tetap seni semodern apa pun alatnya karena gambar tetap dihasilkan oleh keahlian dan bakat pelakunya.

Foto yang dihasilkan dari penggabungan fotografi dan CGP sangat banyak dijumpai akhir-akhir ini, misalnya sebuah mobil yang berada di alam yang seakan alam mimpi. Foto mobil adalah hasil pemotretan, sementara latar belakangnya murni hasil komputer. Beberapa foto iklan, misalnya, melakukan hal ini, dan ini sah-sah saja.

Namun, pengolahan foto yang agak ekstrem, tidak semata refining, juga banyak dilakukan untuk efek-efek tertentu yang dikejar. Dan itu juga sah-sah saja sebenarnya karena tetap membutuhkan keahlian pelakunya.

Klinik Fotografi ”Kompas”

Perkembangan fotografi digital bersama dengan aneka hal lain yang perlu diketahui pelaku fotografi inilah yang akan dibahas satu per satu dalam Klinik Fotografi Kompas (KFK) yang dimulai hari ini dan akan hadir sekali dalam seminggu setiap hari Selasa di halaman 28.

Tidak semata perkembangan teknologi, profil fotografer yang berprestasi pun akan diulas. Selain ada di edisi cetak, KFK juga ada dalam dunia maya pada situs www.kfk.kompas.com.

Pada edisi pertama ini KFK menampilkan tiga foto sebagai contoh yang sangat baik tentang perkembangan digital ini. Foto pertama adalah Hope karya Rarindra Perkasa. Walau foto ini sering dicap hasil olah digital pekat, seni fotonya tetap sangat tinggi. Perhatikan bahwa pemilihan arah cahaya dalam pemotretannya sangat menentukan hasil akhir.

Kemudian foto Dancing Under Water karya Kenvin Pinardy. Pengolahan dengan komputer pada foto ini yang paling menonjol adalah penurunan saturasi warna dengan metode yang sulit ditiru. Warnanya menjadi lembut dan unik. Selain itu, pemotretan di bawah air yang dilakukan Kenvin bukanlah hal yang bisa dilakukan siapa saja dalam seketika. Foto Kenvin ini juga sangat tinggi kadar fotografinya.

Contoh terakhir adalah foto Dayu karya Gilroy Bezaliel Evan Yoewono yang merupakan pemenang tunggal lomba foto www.eyeka.asia belum lama ini. Foto ini menyisihkan 1.687 foto lain yang semuanya luar biasa. Karena semua pesaing sangat pekat olah digitalnya, foto ”Dayu” yang tampil sederhana tapi kuat karakternya dan sangat Indonesia ini langsung menyita perhatian juri yang antara lain dua fotografer ternama, Darwis Triadi dan Jerry Aurum

Sumber: Kompas, Selasa, 3 Februari 2009

Label: ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda