Spiritualisme Candi Sukuh

KOMPAS/ARDUS M SAWEGA
Relief lingga dan yoni yang digambarkan secara realis kita temukan pada lantai gerbang saat memasuki pelataran Candi Sukuh di Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.


Oleh: Rohadi Budi Widyatmoko

Sir Thomas Stamford Raffles dalam proyek penulisan The History of Java memerintahkan sebuah tim yang dipimpin Residen Johson di Surakarta untuk melakukan pencarian dan pendataan candi-candi yang ada di Jawa.

Candi menurut Raffles merupakan bukti dan tonggak perjalanan peradaban Jawa. Candi menyimpan misteri masa lalu dan jejak-jejak untuk bayangan masa depan.

Pencarian itu mencatat bahwa Candi Sukuh di Jawa Tengah kemungkinan didirikan pada akhir masa kekuasaan Majapahit. Pencatatan ini berasal dari penafsiran terhadap relief candi, gapuro bhuto anguntal jalmo (raksasa memangsa manusia). Dalam tafsir candra sengkala menurut kalender Jawa ditemukan angka 1359 berdasarkan tahun Saka atau 1437 dalam kalender Masehi.

WF Stutterheim (1930) dalam penelitiannya mengenai Candi Sukuh mencatat tiga argumen terkait kebersahajaan arsitektur dan relief dibandingkan dengan candi-candi lain. Pertama, pemahat candi mungkin bukan seorang ahli yang berasal dari pedesaan. Kedua, candi dibangun secara tergesa-gesa untuk dijadikan tempat pemujaan. Ketiga, candi dibangun saat kondisi ekonomi dan politik Majapahit menjelang keruntuhan sehingga tidak mungkin mendirikan candi yang sempurna dan monumental.

Keterangan hampir sama disampaikan R Soetarno (Aneka Candi Kuno di Indonesia, 1986: 114) bahwa Candi Sukuh mungkin merupakan hasil seni orang-orang terpencil dan bukan ahli. Relief-relief di Candi Sukuh tampak wagu dan sederhana, tetapi mengandung misteri yang belum bisa diungkapkan secara sempurna sampai saat ini.

Seksualitas Sukuh

Candi Sukuh memiliki keunikan. Patung-patung dan relief di Candi Sukuh menunjukkan hal-hal terkait dengan seksualitas. Para peneliti menganggap seksualitas mengandung misteri dalam ajaran hidup manusia Jawa, mencakup pemaknaan kehidupan lahir dan batin. Seksualitas mengajarkan pada manusia tentang asal-usul dan akhir kehidupan (sangkan paraning dumadi), pemujaan terhadap kekuasaan adikodrati, dan introspeksi diri. Seksualitas Candi Sukuh erat dengan simbolisme dan mistikisme.

Lingga dan yoni merupakan simbol maskulinitas dan feminitas. Seksualitas dalam simbol lingga dan yoni mencerminkan dunia ide dan realitas kehidupan manusia. Simbol-simbol seks di Candi Sukuh tersebut bukan merupakan bukti bahwa seksualitas itu puncak pemujaan hidup secara duniawi. Simbolisme dan mistisisme dalam seksualitas Jawa selalu mengarah pada spiritualitas atau filsafat.

Seksualitas di Candi Sukuh dapat ditelusuri dari ajaran dan mitos dalam pengaruh Hindu. Cliford Bishop (Seks dan Spiritualitas, 2006: 55-58) mengatakan, gagasan Hindu yang menghubungkan dewa dan seksualitas memiliki sejarah panjang mulai dari peradaban Indus yang mencapai puncaknya pada 2000 SM (Sebelum Masehi). Jejak-jejak itu tampak pada dewa berwajah tiga dan ithypallic yang dikenal sebagai proto-Shiwa.

Kidung Sudamala

Jejak-jejak seks dan spiritualitas di Candi Sukuh terungkap dalam simbolisme dan mistisisme kidung Sudamala yang ada di relief. Petikan kisah dalam kidung Sudamala ini menunjukkan bagaimana seks menentukan derajat dan harkat hidup manusia.

Kidung Sudamala oleh masyarakat Jawa dijadikan sebagai rujukan untuk tradisi ruwatan (menghapuskan kutukan atau kemalangan). Ruwatan itu diperuntukkan bagi bocah sukerta (anak kotor atau ternoda). Ruwatan dengan mengambil kidung Sudamala dalam pertunjukan wayang kulit, diartikan Sri Mulyono (Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang, 1979: 50) memiliki tujuan untuk ngluwari ujar (menepati janji), menghilangkan penyakit atau mala, dan menghindarkan segala mala yang akan menimpa.

Ruwat para pejabat

Spiritualitas di Candi Sukuh itu dapat menjadi salah satu jejak sejarah bangsa ini memahami kehidupan manusia. Candi Sukuh yang berada di lereng Gunung Lawu, Jawa Tengah, telah memberi bukti bahwa seks itu merasuk dalam kehidupan dengan semangat spiritualitas dan tidak diintervensi oleh kepentingan politis, apalagi semacam Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi.

Undang-undang semacam itu mungkin ingin jadi dasar untuk meruwat manusia-manusia yang dikriteriakan sebagai pelanggar dengan definisi-definisi seks berdasarkan tendensi dan kepentingan tertentu. Namun, tampaknya ruwatan itu mestinya lebih cocok dilakukan untuk orang-orang dalam parlemen atau para pejabat yang merusak moral masyarakat dengan perilakunya. Mereka perlu diruwat dengan upacara pengadilan dan hukuman dengan kidung tersendiri, ”kidung korupsi” atau ”kidung demokrasi”.

Menziarahi Candi Sukuh seperi menziarahi manusia dalam petualangan ruang dan waktu. Candi yang ingin menggapai langit tersebut membuat orang insaf bahwa masa lalu itu menyuarakan pesan-pesan kehidupan yang masih relevan untuk kehidupan saat ini dan esok hari.

Sebuah ziarah kecandian, mungkin akan membantu siapa saja yang terganggu dengan kerapuhan itu untuk mendapatkan jawabannya.

Rohadi Budi Widyatmoko, Mahasiswa Jurusan Sastra Daerah Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo; Aktivis di Komunitas Cething Ombo

Sumber: Kompas, Sabtu, 21 Februari 2009

Label: , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda