Tribute to East Java Heritage

Foto SP/Kukuh Yudha:
Kuncoro Indra Kurniawan memegang CD filmnya dengan latar belakang poster film dokumenternya

Tribute to East Java Heritage menjadi karya yang unik. Selain merupakan tugas akhir pertama berbentuk film di ITS Surabaya, karya ini sekaligus membalik asumsi bahwa ITS jauh dari kajian kebudayaan.

DIKOTOMI seniman kampus dan seniman nonkampus agaknya tak lagi relevan. Proses kreatif tak ditakar dari status dan latar belakang pendidikan, melainkan dari naluri estetik dan kuatnya insting penciptaan. Hal itu dibuktikan dengan pentas kolaborasi “Balada Waria Muda” yang melibatkan kelompok Ludruk Irama Budaya dan UD (Unit Dagelan) Sumber Rejeki Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga.

Pentas itu boleh jadi sebagai pentas kolaborasi pertama. Tak heran, penonton yang hadir di pentas itu berasal dari berbagai kalangan seperti mahasiswa, akademisi ludruk, sastrawan, dan masyarakat umum. Menariknya, ide pentas kolaborasi itu justru muncul dari mahasiswa teknik Sipil dan Perencanaan ITS, Kuncoro Indra Kurniawan, yang sedang membuat film dokumenter bertajuk Tribute to East Java Heritage.

Mahasiswa yang akrab dipanggil Indra itu mengaku mendapat ide tersebut setelah melihat pertunjukan ludruk di Taman Budaya Jawa Timur. Sebagai warga asli Surabaya, mahasiswa kelahiran 13 Maret 1985 ini mengaku asing dengan ludruk.

“Saya merasa aneh, nggak tahu ludruk,” kata Indra, sapaan akrab mahasiswa angkatan 2003 ini, setelah sidang laporan terakhirnya di Kampus Despro Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITS.

Sebelumnya, ia hanya mendengar kesenian ludruk, tapi tak pernah benar-benar melihat apalagi mengerti esensi kesenian khas Jawa Timur itu. Indra kemudian melakukan riset tentang ludruk. “Saat saya cari data di internet, saya menemukan data 10 pembagian subkultur Jawa Timur. Ini apa lagi?” kisahnya.

Indra mengaku kaget saat mengetahui ada subkultur seperti Arek, Panaragan, Osing, Mataraman, Pandalungan, Tengger, Madura, Madura kepulauan, Bawean, dan Samin. “Untungnya, ada teman dari Unair yang punya referensi tentang itu,” ujarnya sambil menunjukkan buku 10 Pembagian Subkultur Jawa Timur tulisan Prof Ayu Sutarto dan Prof Setyo Yuwono Sudikan.

Dari buku itu Indra mulai mengerti banyak kesenian selain ludruk yang memiliki corak masing-masing sesuai kulturnya. “Ludruk itu masuk wilayah Arekan: Surabaya, Sidoarjo, Malang, Mojokerto,” lanjutnya. Dari buku itu juga ia mendapat ide tak sekadar membuat film dokumenter tentang ludruk, namun juga kesenian tradisonal lain di Jawa Timur.

“Setiap subkultur punya produk kesenian masing-masing. Itu yang ingin saya filmkan,” lanjutnya. Sadar bahwa idenya tidak mungkin terwujud dalam waktu satu semester, ia memutuskan membuatnya sebagai serial. “Akan ada 10 seri, masing-masing membahas satu subkultur. Untuk budaya Arek, kesenian ludruk yang diangkat. Judul filmnya Luru Ilmu,” terangnya.

Ludruk Kolaborasi

Untuk mendapat hasil maksimal, Indra melakukan riset di beberapa kelompok ludruk di Surabaya dan sekitarnya. “Akhirnya saya memilih Irama Budaya dan UD (Unit Dagelan) Sumber Rejeki, karena dari hasil riset, ludruk itu masih memegang pakem,” kisahnya.

Irama Budaya merupakan kelompok ludruk yang terkenal di Surabaya, karena mayoritas anggotanya waria. Sedangkan UD Sumber Rejeki merupakan grup dagelan yang beranggotakan mahasiswa Universitas Airlangga. Indra kemudian meriset kedua kelompok ludruk itu demi mencari subjek yang pas untuk difilmkan.

“Saya mencari seniman ludruk yang masih muda. Film statement saya, agar anak muda tertarik pada kesenian tradisional seperti ludruk,” ujarnya. Pilihan jatuh pada Guruh Dimas, pentolan Sumber Rejeki, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Unair, dan Soleh, waria seniman ludruk Irama Budaya. Uniknya, masing-masing subjek memiliki latar belakang cukup menarik. Guruh Dimas adalah vokalis band dan Soleh adalah dalang.

“Poinnya, sebagai anak muda, mengapa mereka berkesenian ludruk?”

Awalnya, Indra berencana memfilmkan subjek film secara terpisah. Namun ide tersebut berubah. Ia ingin kedua subjek itu bertemu dan bermain bersama. “Bagaimana seniman ludruk asli main bareng sama seniman lingkungan kampus. Pengalaman panggung versus teori. Bagi saya itu menarik,” lanjutnya.

Untuk mampu menampilkan cerita yang kuat, Indra mengabadikan seluruh aktivitas sehari-hari kedua subjek filmnya. Dari pagi hingga malam, selama 10 hari, Indra “menguntit” segala gerak-gerik Guruh Dimas dan Soleh.

“Itu perlu untuk mendapat momen-momen penting yang saya butuhkan,” terangnya. Tidak sia-sia, Indra mendapat gambar saat Guruh Dimas rekaman di salah satu studio, dan juga gambar saat Soleh mendalang. Setelah dirasa cukup, Indra mempertemukan Guruh Dimas dengan Soleh.

“Dugaan saya benar. Guruh Dimas yang pede banget kalau main di kampus, nervous berat saat ketemu seniman ludruk yang asli,” ujarnya. Mereka dipertemukan untuk mempersiapkan pentas kolaborasi. Baik Guruh Dimas maupun Soleh antusias dengan pentas tersebut. Bahkan seluruh kelompok Irama Budaya juga antusias membantu.

“Total ada 20-an seniman yang main. Tiga dari Sumber Rejeki, lainnya dari Irama Budaya,” ujar Indra. Setelah dua kali latihan, pentas tersebut digelar 28 Januari 2009 kemarin. “Saya lega sudah dapat nyawa film ini,” ujarnya.

Ditanya dana produksi, Indra terdiam. “Itulah yang terberat. Saya biaya sendiri,” kisahnya. Untuk membeli mini dv, membayar biaya pentas, membeli konsumsi untuk seluruh orang yang terlibat, Indra merogoh koceknya sendiri.

Indra mengatakan sempat putus asa karena pihak Irama Budaya memasang tarif cukup tinggi untuk menggelar pentas. “Tapi itu sudah risiko. Alhamdullilah, ada saja yang membantu,” ujarnya. Dalam produksi film itu Indra dibantu beberapa temannya. Mereka urunan agar proses terus berjalan. “Saya nggak mau kalah sama uang,” pungkasnya.

Dosen Sempat Pesimistis

Terhadap konsep film dokumenternya tersebut, dosen pembimbingnya sempat pesimistis. “Awalnya, dosen-dosen pesimistis dengan konsep film saya,” tutur Indra. Menurut Indra, rasa pesimistis sang dosen itu muncul karena idenya berjudul Tribute to East Java Heritage memfilmkan pemetaan 10 subkultur di Jawa Timur. Sedangkan kriteria penilaian tugas akhir di jurusannya lebih menitikberatkan pada teknik visual. “Karena kita jurusan teknik desain, bukan seni dan budaya,” katanya menirukan perkataan dosen.

Indra sadar dirinya memasuki ranah kajian interdisipliner yang memadukan pendekatan teknik visual dengan kajian kebudayaan, dan itu tidak mudah. “Film dokumenter sebenarnya tak membutuhkan visual terlalu bagus seperti film fiksi. Yang penting justru pada isu yang diangkat,” terangnya.

Karena itu, Indra mengerjakan tugasnya dengan sangat hati-hati. Hasilnya, Indra mengaku puas dan menyebut tugas akhirnya bukan sebagai kerja akademis, namun juga karya kreatif.

“Film bukan cuma persoalan visual, namun juga content cerita. Sebagus apa pun visualnya, kalau nggak ngomongin cerita atau gagasan yang kuat, film nggak akan menarik,” pungkasnya. (Kukuh Yudha)

Sumber: Surabaya Post, Senin, 16 Februari 2009

Label: , ,

1 Komentar:

Pada 25 Oktober 2010 pukul 20.09 , Anonymous bayu mengatakan...

wuuuiiih bocor..good job boi,,tetep berkarya! vivat!

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda