Pencium Elektronik

Diciptakan Dosen ITS

Dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, M Rivai, menciptakan alat pencium elektronik. Alat itu bisa dipakai industri pengolahan tembakau atau industri lain yang membutuhkan indra penciuman sensitif. Harganya jauh lebih murah dari alat sejenis buatan negara maju.

Rivai mengatakan, ide itu muncul setelah melihat iklan orang sedang dites mencium tembakau. Iklan tersebut membuat dirinya bertanya bagaimana jika orang itu sakit. "Apakah proses pemilahan tembakau berhenti sampai menunggu si pencium sehat atau ada penggantinya? Kalau dia tetap bekerja saat sakit, apakah kualitas penciumannya bisa diandalkan?" ujarnya di Surabaya, Rabu (1/4).

Karena itu, sejak 1995 ia mengembangkan alat pencium elektronik. Alat itu bisa digunakan kapan saja dan oleh siapa saja. "Kalau penciuman pakai manusia hanya bisa dilakukan oleh orang tertentu. Kalau pakai alat, bisa oleh siapa saja yang sanggup mengoperasikan alat," tuturnya.

Alat itu dilengkapi dengan sejumlah sensor. Fungsi sensor hampir menyamai reseptor pada hidung manusia. Reseptor itu berfungsi mengenali aroma suatu benda. Sensor bekerja dengan perangkat lunak khusus yang dikembangkan Rivai.

Menurut dia, pembuatan alat itu hanya membutuhkan dana Rp 10 juta. Alat sejenis buatan luar negeri berharga miliaran rupiah. "Karena itu saya yakin alat ini layak dikembangkan," tuturnya.

Cara kerja

Untuk alur kerja alat itu, Rivai mengatakan, proses diawali dengan memasukkan uap aroma ke ruang sensor. Selanjutnya uap diekstraksi menjadi komponen penyusun uap. Tiap komponen itu selanjutnya diukur intensitas dan konsentrasinya oleh sensor quartz crystal micro-balance (QCM).

"Semua komponen ini saya dapatkan dari produk dalam negeri, kecuali perangkat FPGA (field programmable analog array atau semikonduktor elektronik yang memiliki gerbang terprogram) yang dipesan dari luar negeri," ujarnya.

Untuk menangkap uap aroma, Rivai memodifikasi osilator dan memberikan tambahan lapisan zat kimia. "Misalnya pada sensor ini, saya melapisinya dengan polyethylene glycol. Tiap sensor dilapisi zat kimia yang berbeda," katanya.

Harga bahan kimia yang digunakan pun, menurut Rivai, sangatlah terjangkau. "Rata-rata Rp 2.000 per botol. Untuk setiap botol zat kimia ini dapat dipakai untuk ribuan sensor," tuturnya.

Untuk sementara alat itu baru memiliki 16 sensor. Rivai masih mengembangkan beberapa sensor lagi. "Sekarang sensor untuk aroma apel bisa mendeteksi apakah aroma itu dihasilkan apel bagus atau rusak," katanya. (RAZ)

Sumber: Kompas, Kamis, 2 April 2009

Label: , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda