TOEFL dan Kualitas Guru

Skor 500 itu kurang dari cukup, tidak ada hubungannya dengan kemampuan mengajar dalam bahasa Inggris, dan mampukah Diknas beramai-ramai membiayai para guru mengikuti IBT(Internet-Based TOEFL), satu-satunya perangkat tes yang sah seperti yang dinyatakan oleh ETS-nya Universitas Princeton?

POLA pikir sebagian besar petinggi pengambil keputusan di negara ini lebih banyak anehnya dibandingkan logisnya, termasuk para petinggi di bidang pendidikan. Tidak heran, kondisi dan keluaran pendidikan negara ini menjadi ‘tidak karuan’ dan berpuluh langkah ketinggalan dibandingkan negara lain.

Yang lebih konyol, seiring berlangsungnya keanehan keputusan di bidang pendidikan, para petinggi ini sepertinya tidak pernah belajar dari kesalahan yang dibuat para pendahulu mereka (atau bahkan mereka sendiri di pos yang berbeda) di masa lalu.

Akibatnya pribahasa keledai tidak pernah terantuk pada batu yang sama untuk kedua kalinya, tidak berlaku di negari ini. Mengapa? Karena keledai-keledai di sini, berulang kali terantuk pada batu yang sama di tempat yang sama pula!

Isu konyol terbaru adalah diluncurkannya ketentuan bahwa semua guru wajib memiliki skor TOEFL di atas 500, khususnya guru-guru yang dipersiapkan untuk mengajar di sekolah nasional berstandar nasional.

Sesat Pikir

Untuk ketentuan seperti ini paling tidak ada tiga kesesatan berpikir, yang kalau dibiarkan dampaknya akan memperparah dunia pendidikan. Kesesatan berpikir yang pertama adalah bahwa dengan telah diperolehnya skor TOEFL di atas 500, lalu dianggap bahwa para guru itu telah mampu mengajar sejumlah mata pelajaran dalam bahasa dengan baik, benar dan bermutu.

Kesesatan berpikir yang kedua adalah dengan telah diperolehnya skor TOEFL di atas 500 lalu para guru tersebut dianggap sudah mampu mengajar dengan standar nasional. Kesesatan berpikir yang ketiga, dan mungkin ini adalah kesesatan berpikir yang paling menakutkan dampak dan akibatnya, adalah dengan diperolehnya skor TOEFL di atas 500 lalu para guru ini dianggap mampu menghasilkan keluaran yang berbudi luhur.

Mohon diingat bahwa masalah keluaran institusi pendidikan sejauh ini hanya diukur berdasarkan parameter nilai yang ada dalam rapor mereka, sementara hal yang paling penting - budi luhur, sama sekali diabaikan.

Skor TOEFL, dalam perspektif tertentu, sama sekali tidak berkaitan dengan kemampuan bahasa Inggris seseorang. Penjelasannya begini! Jika seseorang tidak pernah berlatih soal-soal TOEFL sebelumnya dan kemudian diikutkan TOEFL, maka skor yang diperolehnya dapat dianggap sebagai skor kemampuan bahasa Inggrisnya.

Kalau kemudian orang ini karena memperoleh skor yang jelek, katakan saja skornya di bawah 350, akan berlatih keras memelajari soal-soal TOEFL dengan cara mengenali trik-trik untuk menjawab soal dan sejumlah kunci pola pikirnya. Jika orang ini cukup tekun berlatih, sebulan atau dua bulan umpamanya, tidak diragukan lagi orang ini pasti mampu melonjakkan skor TOEFL-nya.

Bukan tidak mungkin orang ini akan memperoleh skor di atas 500. Pertanyaannya sekarang apakah dengan diperolehnya skor TOEFL di atas 500 lalu orang ini dapat mengklaim bahwa kemampuan bahasa Inggrisnya sama melonjaknya dengan skor TOEFL-nya?

Jelas tidak, sama sekali tidak, dan benar-benar tidak! Skor TOEFL boleh melonjak selangit tetapi tanpa diiringi usaha yang lain, usaha yang penuh onak duri dan memerlukan waktu yang lama, maka kemampuan bahasa Inggris seseorang jelas tidak akan meningkat naik bahkan mungkin juga sama sekali tidak meningkat.

Skor TOEFL di bawah 400 diberi label for non user, skor antara 401-450 labelnya too low, skor 451-500 diberi label less adequate, skor antara 501-550 labelnya adalah adequate dan skor di antara 551-599 labelnya barulah effective.
Skor-skor ini diperlukan atau dipersyaratkan oleh sejumlah universitas dan institusi pendidikan terkemuka di luar negeri yang bahasa pengantar perkuliahannya dalam bahasa Inggris.

Tiga Perubahan

TOEFL pertama kali dikembangkan oleh Universitas Princeton di AS dan sampai sekarang hanya universitas inilah yang punya hak menyelenggarakan TOEFL, termasuk penyelenggaraan yang di Indonesia. Jika penyelenggaranya di luar institusi resmi atau institusi yang ditunjuk oleh institusi resmi ini maka sertifikat TOEFL yang diperoleh tentu saja tidak diakui dan tidak berlaku secara internasional. TOEFL sejauh ini telah mengalami tiga tahapan perubahan yang dikenal sebagai PBT, CBT, dan IBT.

PBT atau Paper-Based TOEFL sekarang ini jelas-jelas sudah ditinggalkan oleh penyelenggara TOEFL Internasional atau Educational Testing Service (ETS) Princeton University.

Bahkan penggantinya Computer-Based TOEFL juga sudah tidak digunakan lagi di AS sejak 2005 dan sama sekali tidak akan digunakan pada tahun 2006 ini. Penggantinya yang diberi nama Internet-Based Nest Generation TOEFL akan diberlakukan secara penuh di AS dan di seluruh dunia mulai September 2006.

Salah satu perubahan mendasar dari perubahan ini adalah dimasukkannya tes ketrampilan Speaking dalam IBT. Bersama-sama dengan ketiga ketrampilan dasar lainnya, ketrampilan berbicara bahasa akan diuji.

Pertanyaannya sekarang apakah para petinggi yang membuat keputusan konyol dengan mengharuskan seorang guru harus memperoleh skor TOEFL minimal 500 sudah memahami sejumlah persoalan yang disampaikan dalam artikel ini?

Jika belum bagaimana kalau mempelajari atau mengenali TOEFL dulu baru membuat keputusan agar bentuk keputusannya tidak menggelikan seperti yang sekarang ini terjadi?

Skor 500 itu kurang dari cukup, tidak ada hubungannya dengan kemampuan mengajar dalam bahasa Inggris, dan mampukah Diknas beramai-ramai membiayai para guru mengikuti IBT (Internet-Based TOEFL), satu-satunya perangkat tes yang sah seperti yang dinyatakan oleh ETS-nya Universitas Princeton?

Tri Budhi Sastrio, Staf Pengajar Universitas Widya Kartika Surabaya

[keluar]

Sumber: Surya, Senin, 16 Februari 2009

Label: , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda