Earth Hour, Satu Jam demi Bumi

Sabtu malam ini, 27 Maret 2010, pukul 20.30-21.30, Earth Hour akan kembali diadakan. Masyarakat bumi selama satu jam diajak mematikan lampu di luar gedung atau rumah serta peralatan listrik dan lampu lainnya yang tidak digunakan.

Di Indonesia, ini kali kedua bagi Jakarta di antara ribuan kota di dunia terlibat dan kali pertama bagi Bandung, Jogjakarta, Surabaya, dan Denpasar.

Oleh INDRA SARI WARDHANI

Ini adalah simbol dan bentuk kepedulian masyarakat terhadap penanggulangan perubahan iklim, terutama melalui upaya penghematan energi dari penggunaan listrik.

Listrik bagi masyarakat dunia seperti juga bagi bangsa Indonesia telah menjadi kebutuhan vital masyarakat modern dan juga bahan bakar roda pembangunan. Listrik, bahkan, dijadikan tolok ukur majunya suatu peradaban.

Hanya saja, penyediaan dan pemanfaatan listrik di Indonesia masih banyak bergantung pada energi fosil terutama minyak bumi dan produk turunannya.

Energi fosil bersifat tidak terbarukan sehingga bila terus dieksploitasi, cadangannya akan menipis dan mungkin akan habis. Saat ini saja Indonesia sudah bisa dikategorikan sebagai negara yang lebih banyak mengimpor minyak dibandingkan mengekspornya.

Karena itu, fluktuasi harga minyak bumi dunia akan sangat berpengaruh dan dapat mengguncang ekonomi Indonesia. Tekanan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara juga akan meningkat mengingat pemerintah membeli minyak bumi dengan harga dunia sedangkan harga bahan bakar minyak dan listrik di dalam negeri dijual murah karena masih mendapat subsidi dari pemerintah.

Walaupun realisasi subsidi energi pada 2009 sebesar Rp 94,6 triliun (10 persen total pengeluaran negara) sudah jauh berkurang dibanding tahun sebelumnya (Rp 230,51 triliun), tetapi jumlah ini 1,5 kali lebih besar dari total subsidi non-energi (Rp 64,9 triliun).

Di sisi lingkungan, ketergantungan terhadap minyak bumi ataupun energi fosil lainnya telah memberikan dampak buruk, terutama dari emisi karbon yang dikeluarkan, baik dari proses penyediaan maupun pemanfaatannya.

Akumulasi emisi dalam jumlah besar di atmosfer—sekitar 80 persen dari emisi global berasal dari sektor pengguna energi secara intensif—telah berkontribusi pada terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim.

Untuk mengatasinya dibutuhkan keterlibatan semua pemangku kepentingan, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat secara umum.

Pola pengelolaan selama ini yang bertumpu pada pendekatan pasokan (supply side management) perlu diimbangi dengan pengelolaan dari sisi permintaan (demand side management), yaitu dengan meningkatkan konservasi dan efisiensi energi.

Undang-Undang Energi Nomor 30 Tahun 2007 telah mengamanatkan bahwa konservasi energi merupakan tanggung jawab semua elemen, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengusaha, maupun masyarakat.

Sesungguhnya, program efisiensi dan konservasi energi sudah ada sejak lama, yaitu sejak Kebijakan Umum Bidang Energi 1981 sampai dengan Kebijakan Energi Nasional yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006.

Hanya saja, hasil yang dicapai masih belum efektif dan menghadapi berbagai kendala. Salah satu kendala utamanya adalah gaya hidup masyarakat yang masih boros energi.

Hal ini bisa disebabkan karena kurangnya pemahaman mengenai hemat energi ataupun karena harga energi yang relatif murah sehingga mendorong pola konsumsi yang lebih boros.

Dari kerja sama Japan International Cooperation Agency (JICA) dengan beberapa institusi di Indonesia didapat masukan, pada 2007-2009 terdapat potensi efisiensi energi 10-30 persen (untuk sektor rumah tangga), 10-23 persen (komersial) dan 7-21 persen (industri).

Penghematan bisa dicapai melalui 3 strategi utama, yaitu (1) penetapan regulasi dan aturan main yang jelas, (2) peran dan dukungan pemerintah yang kuat, (3) sosialisasi dan peningkatan kesadartahuan masyarakat. Misalnya, mengganti lampu pijar 40 watt dengan lampu hemat energi (CFL) 8 watt pada konsumen rumah tangga dengan daya di bawah 900 VA. Kegiatan ini terus berkembang, mencapai skala ekonomi dan mampu menurunkan gap antara pertumbuhan penjualan listrik dan beban puncak. Hal yang serupa dengan pendekatan berbeda juga dilakukan untuk sektor komersial dan industri.

Keduanya hanyalah contoh kecil upaya efisiensi energi yang sudah dan dapat dilakukan. Upaya-upaya tersebut masih perlu terus ditingkatkan.

Sekecil apa pun kontribusi yang bisa dilakukan, akan memberikan perubahan yang positif bagi ketahanan energi, pembangunan ekonomi, serta kelangsungan hidup di bumi.

Bumi bukan hanya tempat tinggal yang harus nyaman bagi generasi sekarang, melainkan juga bagi generasi yang akan datang. Setiap detik yang dilakukan dapat memberikan warna dan makna yang berbeda dalam kehidupan.

INDRA SARI WARDHANI, Bidang Energi WWF Indonesia

Sumber: Kompas, Sabtu, 27 Maret 2010

Label: , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda