Krisis Manusia Modern: Tinjauan Falsafah Terhadap Scientisme Dan Relativisme Kultural (1)
Krisis yang dihadapi manusia modern telah sering dibicarakan dan merupakan wacana yang menarik perhatian di Indonesia selama dua dasawarsa terakhir ini. Khususnya yang berkaitan dengan kehampaan spiritual dan alienasi, yang akhir-akhir ini semakin dirasakan sebagai dampak yang tidak terelakkan dari modernisasi. Namun dalam hubungannya dengan sejarah pemikiran falsafah, topik ini jarang sekali dibahas secara mendalam. Karangan ini ditulis untuk membahas hubungan antara krisis yang dialami manusia modern dan munculnya berbagai aliran falsafah yang kemudian sangat dominan dan berpengaruh, khususnya scientisme dan relativisme kultural.
Oleh Abdul Hadi W. M.
Ahli-ahli sejarah di Timur maupun di Barat, sejak Confucius hingga Toynbee, dari Ibn Khaldun sampai Collingwood, yakin bahwa seseorang tidak akan dapat memahami masa kini dan akan gagal melihat masa depan, tanpa mampu merenungi masa lalu. Pemikiran-pemikiran yang berpengaruh pada masa kini adalah bagian dari mata rantai panjang pemikiran sebelumnya. Demikian pula halnya dengan scientisme dan relativisme kultural, yang telah lebih dua abad merasuki pemikiran manusia modern.
Berbagai sistem falsafah, ideologi modern yang diterapkan dalam kehidupan politik, ekonomi dan kebudayaan; serta berbagai pandangan hidup masyarakat modern dewasa ini, terkait dengan sejarah panjang scientisme. Akan halnya dengan nihilisme dan relativisme kultural yang dewasa ini juga berkembang subur, dan merupakan landasan pemikiran posmodern, memiliki akar dalam sejarah scientisme serta utopia-utopia yang tumbuh daripadanya.
Scientisme merupakan sistem pemikiran falsafah yang bertolak dari penemuan-penemuan ilmiah abad ke-16 dan 17 M, khususnya penemuan-penemuan Copernicus, Kepler, Galileo dan Newton. Munculnya pemikiran falsafah yang bercorak rasional, yang berakar umbi dalam pemikiran Ibnu Rusyd, Descartes dan Bacon pada abad itu juga membantu hasil-hasil penemuan ilmiah di bidang astronomi dan mekanika ditransformasikan menjadi sistem pemikiran yang mampu merubah pandangan hidup, gambaran dunia (weltanschauung) dan cita-cita masyarakat, termasuk gambaran manusia tentang dirinya dan tempatnya di dunia. Diperkenalkannya teknik baru, seperti angka Arab, jam kota, tehnik pembuatan kertas dan mesin cetak temuan Guthenberg, pada abad ke-13 sampai abad ke-17 M, juga tidak kecil peranannya dalam memajukan perkembangan ilmu pengetahuan. Pada gilirannya ia juga menolong suburnya scientisme (Matson 1966:30).
Angan-angan para agamawan dan ruhaniwan, serta imaginasi para seniman dan sastrawan, tentang masyarakat yang ideal, juga tidak kecil peranannya dalam memperluas cakrawala, dan mempercepat perkembangan scientisme. Salah satunya ialah imaginasi Thomas More dalam bukunya Utopia (1515-6), sebuah karya setengah fiksi setengah falsafah yang diilhami oleh pemikiran Plato, St. Augustinus dan Thomas Aquinas. Kata utopia diambil dari bahasa Yunani, gabungan dari kata uo dan topos, yang artinya sebuah tempat yang ideal dan sempurna tatanan kehidupannya tetapi entah di mana (Gulzar Haider 1985).
Melalui bukunya itu Thomas More sebenarnya ingin mengeritik Inggris yang dianggapnya sebagai negeri yang masyarakatnya sedang sakit, karena tidak memiliki toleransi dan semangat kebersamaan dalam membangun masyarakat yang adil dan sejah tera. Menurut Thomas More negeri yang ideal dan sempurna ialah yang penduduknya toleran satu dengan yang lain, memiliki semangat gotong royong, memberi kesempatan luas bagi setiap individu untuk meraih kesejahteraan, tidak terlalu mengutamakan kekuasaan dan status sosial, menggunakan akal dan inteligensia sehingga mampu mengendalikan emosi dan perilaku irasionalnya.
Pengaruh buku Thomas More bagi tumbuhnya scientisme mula-mula ketara dalam pemikiran Francis Bacon, filosof abad ke-17 M yang hidup sezaman dengan Rene Descatrtes, bapak rasionalisme modern. Bacon meyakini bahwa ilmu pengetahuan adalah kekuasaan. Pemikirannya yang revolusioner terlihat dalam bukunya New Atlantis (1623). Menurutnya, dalam buku itu, tujuan terakhir dari regenerasi umat manusia dan kesempurnaan hidupnya terutama bukannya tergantung pada pembaharuan hukum-hukum properti, melainkan pada kemajuan science dan pengaturan kehidupan manusia dengan semangat ilmiah. Hanya metode ilmiah yang dapat mengangkat martabat manusia dan memberinya kehidupan yang sempurna (Ibid).
Pada abad ke-18 M buku Bacon menjadi bacaan luas kalangan cendekiawan Perancis. Sosialisme Utopis yang diasaskan oleh Saint Simon pada akhir abad ke-18, dan ikut mengilhami Revolusi Perancis, dibangun berdasarkan pemikiran Bacon. Pendekar-pendekar lain yang dipengaruhi pemikiran Bacon pada abad ke-18 dan ikut membidani Revolusi Perancis ialah Rosseau, Louis Blanc dan ekonom terkemuka Robert Owen (Stephen II 1960:311). Melalui revolusi inilah Perancis tumbuh menjadi negara paling awal dalam menerapkan sistem demokrasi liberal, yang kemudian diikuti oleh negara-negara lain di Eropa dan Amerika Serikat. Tetapi ironinya negara-negara ini tidak dapat membendung hawa nafsunya untuk menjadi negara kolonialis dan imperialis. Negara-negara kapitalis ini memerintah negeri-negeri jajahannya dengan cara-cara yang sangat bertentangan dengan hakekat demokrasi. Sumber dari ambivalensi ini dapat dicari pada kenyataan dijalankannya bersama-sama sistem demokrasi liberal di bidang politik dan sistem kapitalisme di bidang ekonomi dan perdagangan. Memang keduanya tumbuh dari asas yang sama, yaitu scientisme dan liberalisme, namun secara kodrati sebenarnya saling bertentangan.
Adalah juga ironis karena sistem pemikiran yang meyakini adanya hukum alam yang ajeg dan tetap yang mengatur pergerakan dan kehidupan di alam semesta, termasuk kehidupan manusia, kelak melahirkan masyarakat yang begitu menyukai perubahan serta menumbuhkan aliran-aliran pemikiran yang saling bersaing dan berbenturan.
Relativisme kultural yang tumbuh subur pada akhir abad ke-19 M berawal dari kepentingan masyarakat untuk mempertahankan aliran pemikiran masing-masing karena masing-masing menganggap bahwa alirannya sajalah yang paling benar (Edel 1955:23) Berbagai konflik sosial dan politik yang menyebabkan terjadinya banyak malapetaka kemanusiaan pada abad ke20, khususnya Perang Dunia I dan II, kemudian Perang Dingin antara blok timur dan blok barat, berawal dari sengketa pemikiran dan ideologi, dan didorong pula oleh faktor-faktor yang inheren dalam tabiat manusia seperti keinginan menguasai sumber-sumber alam, sarana produksi dan komunikasi, serta pasar. Penemuan-penemuan besar ilmiah dan tehnologi yang canggih memberi peluang lebih besar lagi, karena dengan metode dan sarana yang canggih upaya manusia untuk memuaskan keinginannya dan memenuhi ambisi Faustiannya akan dapat dicapai lebih cepat dan mudah.
Kenyataan ini memberi peluang munculnya kritik dan keraguan terhadap scientisme dan rasionalisme. Pada zaman Renaisan dan Pencerahan abad ke-16 – 18 M, para ilmuwan, filosof dan cendekiawan Eropah yakin bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi akan mendatangkan kebahagiaan dan perdamaian yang langgeng bagi umat manusia. Peperangan yang menelan banyak korban, sengketa politik dan ideologi, dapat dikurangi, sebab dengan pengetahuan dan nalarnya manusia akan bertambah arif dan bijak, serta toleran terhadap perbedaan-perbedaan pandangan dan agama. Tetapi kenyataan yang muncul adalah sebaliknya. Metode-metode ilmiah yang canggih dan diterapkan dalam ilmu pengetahuan alam dan sosial, dan digunakan untuk menangani masalah sosial, politik dan kemanusiaan; ternyata tidak mampu menangani situasi kemasyarakatan yang kompleks seperti sengketa politik, etnis, ideologis dan keagamaan. Sebaliknya di Eropah sendiri sejak akhir abad ke-18 sampai akhir abad ke-19 peperangan dan konflik sosial sangat banyak bermunculan.
Kondisi inilah yang mendorong sejumlah pemikir dan cendekiawan meragukan klaim-klaim scientisme dan rasionalisme, bahkan mengeritiknya sebagai biang keladi krisis kemanusiaan yang dialami manusia modern. Pertama-tama, karena dalam proyeksi scientisme manusia ditempatkan sebagai obyek yang kesadaran dan cakrawala hidupnya dibatasi pada persoalan perut dan penguasaan ketrammpilan tehnis, dengan sedikit pengetahuan untuk menopang dirinya agar dapat mengaktualisasikan hidupnya. Khususnya sebagai homo faber, mahluq yang gemar kerja dan tehnologi, animal rationale, khewan yang gemar berpikir dan homo eroticus, makhluk yang menyukai hal-hal yang erotis dan sensual.
Kedua, dengan cara demikian scientisme dan berbagai cabang pemikiran yang muncul kemudian seperti materialisme, darwinisme dan lain-lain bertanggungjawab menciptakan gambaran yang sempit dan reduksionis mengenai manusia, hakekat keberadaan dan peranannya di muka bumi. Manusia dianggap hanya bagian dari kerajaan benda-benda dan khewan, dan seperti benda-benda dan hewan,gerak dan kegiatan hidupnya diatur oleh sebuah hukum alam yang bersifat mekanistis. Kesadaran manusia tidak mendapat tempat.
Ketiga, scientisme dan cabang-cabang falsafah yang berkembang daripadanya tidak memberi peluang bagi aktivitas spiritual, keyakinan pada alam transendental dan metafisika. Semua bentuk kegiatan berkenaan dengan agama dan spiritualitas dipandang irasional, sedang bentuk-bentuk kepercayaan yang lahir darinya disebut takhyul dan merintangi kemajuan. Penyakit-penyakit seperti alienasi (keterasingan), kehampaan spiritual, kecanduan obat bius, dorongan bunuh diri dan berbagai bentuk frustrasi sosial yang lain adalah harga yang harus dibayar mahal bagi tercapainya cita-cita manusia modern yang bertitik tolak dari pandangan scientisme, rasionalisme, utilitarianisme, materialisme, hedonisme, pragmatisme, evolusionisme, sosiologisme dan lain-lain.
Dilatarbelakangi kehampaan spiritual yang memilukan itulah pada akhir abad ke-19 Nietzsche menghujat manusia modern dalam bukunya yang terkenal Also Spracht Zarathustra. “Tuhan telah mati!” kata Nietzsche, yaitu mati dalam jiwa manusia modern. Ungkapan yang dahsyat dan provokatif ini bukannya tanpa alasan yang kuat. Dengan matinya Tuhan, maka sandaran kebenaran dan patokan nilai-nilai menjadi hancur berantakan. Nilai tertinggi tidak ada lagi. Begitu halnya dengan kebenaran mutlak. Yang ada hanyalah reltivisme mutlak. Dengan demikian relativisme kultural mulai menemukan bentuknya yang sempurna.
II
Sebelum menguraikan lebih jauh implikasi scientisme terhadap kehidupan manusia modern, serta berkembangnya relativisme kultural dan nihilisme – dua aliran yang muncul sebagai reaksi paling keras terhadap scientisme karena dianggap sebagai ideologi berpihak pada status quo,bukan pada perubahan; baiklah kami kutip potongan sajak “Nature morte” karangan seorang penyair Rusia Joseph Brodsky yang meraih Hadiah Nobel pada tahun 1987, sebagai berikut:
Orang dan benda pun berdesak-desakan
Mata bisa pedih dan luka
Oleh orang maupun benda.
Lebih baik tinggal saja dalam kelam.
(Sapardi Djoko Damono 2001:161)
Tidak ada pintu lain yang dapat dimasuki oleh manusia modern selain kegelapan, kesunyian, keterasingan dan pesimisme. Dunia yang kita huni adalah “Tanah mati, tanah kaktus,” tutur T. S. Eliot dalam sajak ‘Orang-orang Kosong’ “Di sini patung-patung batu/ Ditegakkan, di sini mereka menerima/ Permohonan tangan si mati/ Di bawah kerdip bintang yang redup... Mata tidak ada di sini/ Tidak ada mata di sini/ Di lembah bintang sekarat ini/ Di lembah hampa ini/ Rahang patah dari kerajaan-kerajaan kami yang hilang...Dari kerajaan senjakala maut/ Satu-satunya harapan orang kosong”(Ibid:43) T. S. Eliot mendahului Fucoult tiga puluh tahun lebih dalam menyatakan bahwa ‘manusia telah mati’. Sajak ‘Orang-orang Kosong’ ditulis pada tahun 1930an dan dimasukkan dalam antologi The Waste Land (Tanah Gersang) yang mengantarkan sang penulis memperoleh Hadiah Nobel pada tahun 1948.
Bukan hanya Joseph Brodsky dan T. S. Eliot yang mengakui bahwa krisis yang dialami manusia modern berakar dalam watak kebudayaan modern sendiri yang mencampakkan spiritulitas dan tidak memberi tempat pada metafisika serta etika yang didasarkan atas spiritualitas. Kebudayaan modern pula yang membiarkan relativisme kultural berkembang menjadi sumber konflik sosial, ideologis dan intelektual yang tidak habis-habisnya. Pemikiran posmodernis, yang memperoleh pengikut lumayan di kalangan intelektual Eropah, Amerika dan Asia, adalah contoh terbaik pemikiran yang mengiyakan sepenuhnya relativisme kultural, khususnya relativisme nilai-nilai, dan pembenaran terhadap keutamaan realitas semu dan degradasi moral, sebagaimana tersirat pada asumsi gerakan ini yang menganggap bahwa kenyataan adalah fiksi dan fiksi adalah kenyataan.
Menanggapi berbagai sengketa ideologis dan budaya yang membuat krisis manusia modern semakin bertambah, dalam esainya “The Facing Inferno” (1972) Ionesco menulis: “Krisis yang diderita manusia modern itu sebenarnya berakar sangat dalam, tidak sebagaimana diduga kebanyakan orang”. Ia tidak berakar semata-mata dalam kemiskinan dan kemunduran ekonomi. Tetapi juga di tempat lain, nun jauh di lubuk kalbu manusia. Di negara-negara miskin seperti India memang banyak orang mati kelaparan disebabkan tidak mendapatkan makan dan tempat tinggal yang semestinya. Tetapi di negara-negara makmur seperti Skandinavia, jumlah orang yang bunuh diri meningkat berlipat-lipat ganda di atas limpanan makanan dan sarana kehidupan yang canggih”.
“Kita ini,” kata Ionesco, “Baik yang mengaku Marxis maupun sosialis, pengikut fanatik Freud dan Nietzsche, sesungguhnya dihadapkan pada masalah yang sama, yaitu bagaimana seharusnya kita hidup di dunia ini. Dari apa kita mesti membebaskan diri agar dapat hidup lebih baik dan bermartabat? Adakah kita harus membebaskan diri dari naluri rendah dan hawa nafsu? Ataukah dari segala bentuk larangan – undang-undang, kekuasaan politik atau agama? Adakah kita mesti membebaskan diri dari revolusi atau counter-revolusi?” Sang dramawan menjawab, bukan itu jawabnya.
“Yang kita perlukan sebenarnya ialah bagaimana menumbuhkan keseimbangan antara nafsu hidup, rasa tidak pernah puas dan kemampuan mengendalikan diri. Dari hari ke hari kita melihat manusia dengan hawa nafsunya, berusaha saling menginjak, sedangkan negara-negara besar berlomba-lomba mendorong dunia melangkah ke dalam kancah kekerasan, sehingga keputusasaan semakin meluas. Lantas timbul pikiran agar ideologi-ideologi sekular dilenyapkan saja. Menolong si miskin, menyebarkan keadilan, memerangi kelaparan, menumbuhkan kebebasan politik dan agama, serta memuaskan dahaga ruhani kita, ternyata bukan itu tujuan manusia dewasa ini. Tujuan manusia sederhana, menguasai dunia dan meningkatkan pertumpahan darah.”
Ionesco tidak sendirian. Bersama dia masih banyak cendekiawan Barat mencetuskan suara yang senada. Misalnya Paul Tillich, Berdayev, Ortgea Y. Gasset, Karl Jaspers, Erns Cassirer, Roger Garaudy, Rene Guenon, Titus Burkchard, Martin Lings, Gadamer, Huston Smith dan lain-lain. Namun malangnya, kata Ionesco, tidak banyak orang yang sadar bahwa keputusasaan dan pesimisme yang berkembang di tengah masyarakat modern dewasa ini sebenarnya bersumber dalam pandangan manusia modern sendiri yang picik, hanya tertuju pada persoalan kebendaan. Manusia lupa bahwa apabila ia mau berkhtiar dan menghidupkan kembali penglihatan ruhaninya, pasti ia akan memperoleh pencerahan.
Label: abdul hadi wm, artikel, falsafah
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda