Heboh Infotainment dan Peran KPI

BELAKANGAN ini dunia media massa Indonesia dihebohkan oleh kabar akan diberlakukannya sensor untuk program infotainment di televisi. Ini jelas mengejutkan, karena menurut UU Pers No 40/1999, pers tak boleh lagi dibreidel dan disensor. Bunyi pasal 4 ayat 2 itu: "Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembreidelan, dan pelarangan penyiaran". Sangat mungkin, keputusan ini diambil karena infotainment dianggap bukan produk pers/jurnalistik.

Oleh Sirikit Syah

Bila begitu, cara kerja Komisi Penyiaran Indonesia, betapa mudahnya. Untuk program yang melakukan banyak pelanggaran dan tak dapat dikendalikan, geser saja ke ranah yang memungkinkan untuk disensor. Infotainment digolongkan sebagai program nonfaktual. Ini joke kedua di kasus yang sama. Para anggota Komisi Penyiaran, Dewan Pers, dan Komisi I DPR yang terhormat, apakah benar-benar tak paham makna kata faktual dan nonfaktual? Mereka akan mulai meredefinisi istilah-istilah dalam dunia penyiaran ini? Tapi, mengapa keputusan penggolongan sudah dilakukan sebelum definisi diperjelas?

Nalar siapa yang dapat menerima bahwa infotainment adalah program nonfaktual? Tak ada yang lebih nyata daripada berita infotainment. Orang-orang yang menjadi objek pemberitaan jelas, peristiwa juga bukan rekayasa, dan tidak menggunakan skenario. Tentu ada banyak sekali gosip di sini. Tetapi, sesungguhnya, bila kita berpikir adil, ranah berita apa yang bebas dari gosip? Bahkan, dunia bisnis dan politik pun diwarnai gosip. Dalam teori jurnalistik, gosip adalah salah satu "bekal" berita. Tentu harus diklarifikasi atau diverifikasi, tetapi tetap saja gosip bisa menjadi berita. Kalau wangsit, bukan berita.

Dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) memang belum ada bab yang membahas/mendefinisikan program nonfaktual. Kita yang mengenyam pendidikan tentu memahami bahwa nonfaktual sama dengan fiktif. Di televisi, film dan sinetron bisa disebut karya fiksi/nonfaktual, yang mesti lolos sensor sebelum ditayangkan. Penggolongan infotainment ke dalam ranah fiksi ini kasatmata sebagai upaya terakhir KPI untuk menyensor program yang telah lama meresahkannya.

***


Kritik banyak orang bahwa infotainment bukan produk jurnalisme, dapat diterima, dan bisa saja infotainment digolongkan menjadi program faktual nonnews. Namun, tak sedikit pakar dan pengamat media massa mengatakan infotainment tak berbeda dengan karya jurnalistik lain. Ada proses peliputan, wawancara, verifikasi, dan editing. Tentang pendekatan infotainment yang terlalu personalized, memang itulah salah satu karakter news. News selalu bersifat", dramatisized, dan fragmented (Bennet, 1996). Bila kita perhatikan dengan seksama, semua jenis berita, tak hanya infotainment, selalu berorientasi pada manusia, lebih dramatis daripada kisah sesungguhnya, dan tak pernah tuntas/komplet. Bisa kita ambil contoh, dari kasus Antasari Ashar, Susno Duadji, Gayus Tambunan, Bibit & Candra, Bank Century, tak pernah ada yang selesai. Media hanya menyajikan fragmen-fragmen. Bahkan, teroris yang katanya sudah diberantas sampai ke tokoh-tokohnya, masih saja memunculkan tokoh-tokoh teroris berikutnya.

Jadi, jangan salahkan infotainment bila gayanya adalah personal, dramatis, dan terfragmen. Itu karakter berita pada umumnya. Bila kita hendak menyalahkan infotainment, terutama terletak pada ghibah, mengumbar aib manusia. Bisa saja aib itu nyata, tetapi layakkah diekspos sedemikian rupa? Kerusakan tak hanya dialami objek pemberitaan, tetapi juga seluruh kerabat dan handai taulannya. Dalam agama Islam, mengumbar aib sesama muslim itu sama dengan memakan bangkai saudara. Apa yang lebih rendah daripada itu?

Keberatan yang lain akan content infotainment adalah digunakannya para peramal sebagai narasumber untuk "membaca" perilaku objek berita. Ini dapat menyesatkan nalar publik. Perkembangan terakhir yang juga amat memprihatinkan adalah awak infotainment membahas content tayangan berdasar status selebriti di Facebook, Twitter, dan blog sosial sejenisnya. Ini selain tidak etis, juga menunjukkan rendahnya kreativitas dan aktivitas awak infotainment dalam mencari berita. Betapa enaknya, duduk saja di meja, browsing internet, lalu mengisi program infotainment berdasar status selebriti. Ini degadrasi dari profesionalisme pekerja media siaran.

***


Sesungguhnya penulis tidak yakin masyarakat dan selebriti keberatan dengan pelanggaran privasi dalam program infotainment. Masyarakat yang suntuk didera kesulitan ekonomi merasa terhibur dengan kabar-kabar para artis yang menjadi idolanya. Memang ada segelintir artis yang jengah dengan ulah awak infotainment yang betul-betul bagai "nyamuk pers", menempel ke mana-mana. Namun, tak sedikit selebriti yang mencari-cari infotainment dan menawarkan publikasi privasinya. Tujuannya, menaikkan popularitas yang tenggelam. Bahkan, ada yang sengaja menciptakan skandal pura-pura atau isu remeh temeh.

Infotainment mungkin bukan program jurnalistik. Awaknya tidak bekerja di newsroom, melainkan di production house, yang tentu saja suasana dan standar kerjanya berbeda. Mereka juga tidak menerapkan kode etik jurnalistik. Seperti program E! di televisi Amerika, infotainment sebetulnya bisa menonjolkan aspek hiburan dalam programnya: karya terbaru, proses kreatif, life style, fashion, box office, dll. Tidak apa-apa jika dia tidak disebut jurnalistik atau produk pers. Tetapi, jelas dia adalah program faktual.

Keputusan DPR, Dewan Pers, dan KPI yang menggolongkan infotainment ke dalam ranah nonfaktual mencederai demokrasi yang sedang kita bangun. Reformasi di dunia pers dan media massa sangat terganggu dengan upaya menyensor produk media massa. Begitu kerasnya semangat sensor itu sampai-sampai nalar intelektual diabaikan. Saya berharap awak infotainment dan praktisi media massa penyiaran pada umumnya melakukan gerakan penentangan. Antara lain menuntut lahirnya definisi faktual atau nonfaktual lebih dulu, sebelum menggolong-golongkan program. Saya juga berharap kasus ini membuat para awak infotainment belajar. Beritakan kabar-kabar yang menghibur, sesuai nama programnya. Jangan mengumbar aib yang menjurus ke ghibah. (*)

Sirikit Syah, pengamat media

Sumber: Jawa Pos, Senin, 19 Juli 2010

Label: , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda