Memahami Pencemaran Nama Baik

Prita Mulyasari dijebloskan ke tahanan sejak 13 Mei 2009 terkait e-mail pribadi. E-mail itu berisi keluhan atas layanan Rumah Sakit Omni Internasional berjudul ”Penipuan Omni International Hospital Alam Sutera Tangerang”. (Kompas, 4/6).

Oleh: Eddy OS Hiariej

Tulisan ini mengulas pasal-pasal pencemaran nama baik yang menjerat Prita.

Berkaitan dengan belediging (penghinaan) sebagaimana termaktub dalam Pasal 310-Pasal 321 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) masih tetap dipertahankan. Belediging ini bisa beragam wujudnya. Ada yang menista, termasuk menista dengan tulisan. Ada yang memfitnah, melapor secara memfitnah, dan menuduh secara memfitnah. Hampir di seluruh dunia, pasal- pasal yang terkait penghinaan masih dipertahankan. Alasannya, hasil penghinaan dalam wujud pencemaran nama baik adalah character assassination dan ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

Pasal Penghinaan

Bagi Indonesia, pasal-pasal penghinaan ini masih dipertahankan. Alasannya, selain menghasilkan character assassination, pencemaran nama baik juga dianggap tidak sesuai dengan tradisi masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi adat dan budaya timur. Karena itu, pencemaran nama baik adalah salah satu bentuk rechtsdelicten dan bukan wetdelicten.

Artinya, pencemaran nama baik sudah dianggap sebagai bentuk ketidakadilan sebelum dinyatakan dalam undang-undang karena telah melanggar kaidah sopan santun. Bahkan lebih dari itu, pencemaran nama baik dianggap melanggar norma agama jika dalam substansi pencemaran itu terdapat fitnah.

Ada tiga catatan penting terkait dengan delik pencemaran nama baik. Pertama, delik itu bersifat amat subyektif. Artinya, penilaian terhadap pencemaran nama baik amat bergantung pada orang atau pihak yang diserang nama baiknya. Karena itu, pencemaran nama baik merupakan delik aduan yang hanya bisa diproses oleh polisi jika ada pengaduan dari orang atau pihak yang merasa nama baiknya dicemarkan.

Kedua, pencemaran nama baik merupakan delik penyebaran. Artinya, substansi yang berisi pencemaran disebarluaskan kepada umum atau dilakukan di depan umum oleh pelaku.

Ketiga, orang yang melakukan pencemaran nama baik dengan menuduh suatu hal yang dianggap menyerang nama baik seseorang atau pihak lain harus diberi kesempatan untuk membuktikan tuduhan itu.

Tiga catatan

Ada beberapa hal yang perlu dikemukakan terkait dengan kasus Prita Mulyasari yang dipenjara karena mengirim e-mail pribadi kepada teman-temannya berjudul ”Penipuan Omni International Hospital Alam Sutera Tangerang”.

Pertama, dilihat dari judul e-mail pribadi Prita, terkandung tuduhan, Rumah Sakit Omni Internasional telah melakukan penipuan. Tetapi, harus diingat, e-mail Prita bersifat pribadi dan ditujukan kepada teman-teman dekatnya. Artinya, Prita tidak bermaksud menyebarluaskan tuduhan itu kepada umum. Dengan demikian, delik penyebaran, sebagaimana disyaratkan dalam pencemaran nama baik, tidak terpenuhi. Kecuali, jika ada bukti kuat bahwa beredarnya berita itu karena perbuatan Prita.

Kedua, media yang digunakan Prita untuk menyampaikan kabar yang dianggap mencemarkan nama baik adalah dunia maya sehingga penggunaan Undang- Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi relevan. Pasal 27 Ayat 3 UU ITE menyatakan, setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik. Sedangkan Pasal 45 Ayat 1 UU ITE menyatakan, pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 27 Ayat 3 diancam pidana penjara paling lama 6 tahun penjara dan atau denda paling banyak 1 miliar rupiah.

Catatan terhadap ketentuan Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 45 Ayat 1 UU ITE adalah tak ada definisi apa yang dimaksud dengan penghinaan atau pencemaran nama baik. Karena itu, untuk menentukan apakah telah dipenuhinya unsur pencemaran nama baik harus merujuk Pasal 310 KUHP.

Selain itu, ada disparitas ancaman pidana cukup besar antara ketentuan Pasal 310 KUHP dan Pasal 45 Ayat 1 UU ITE. Terhadap pencemaran nama baik, Pasal 310 KUHP memberikan ancaman maksimum 9 bulan penjara atau denda tiga ratus rupiah. Bandingkan dengan ketentuan Pasal 45 Ayat 1 UU ITE yang mengancam pelaku dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan atau denda paling banyak 1 miliar rupiah.

Disparitas ancaman pidana seperti ini bersifat kriminogen di tengah profesionalisme aparat penegak hukum di Indonesia yang masih memprihatinkan. Sudah menjadi rahasia umum, pasal mana yang akan dijerat kepada tersangka dalam suatu kejahatan diancam lebih dari satu ketentuan pidana menjadi ajang negosiasi aparat penegak hukum dengan tarif-tarif tertentu.

Tiga syarat

Ketiga, terkait dengan penahanan Prita. Pada dasarnya ada tiga syarat penahanan berdasarkan Pasal 21 KUHAP, masing-masing adalah syarat subyektif, syarat obyektif, dan syarat kelengkapan formal.

Syarat subyektif adalah penilaian pribadi subyektif dari aparat penegak hukum yang terkait dengan kekhawatiran tersangka akan melarikan diri, mengulangi perbuatan pidana, atau menghilangkan barang bukti. Sedangkan syarat obyektif adalah penahanan hanya dilakukan terhadap kejahatan yang diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih.

Sementara syarat kelengkapan formal adalah surat penahanan yang berisi identitas tersangka dan uraian singkat tindak pidana yang dilakukan.

Dalam kasus Prita, jika Polri menjeratnya dengan Pasal 310-311 KUHP, kiranya dasar penahanan tidaklah relevan, mengingat penahanan itu tidak memenuhi syarat obyektif karena ancaman pidana dalam Pasal 310-311 KUHP di bawah 5 tahun penjara. Jika Prita dijerat dengan Pasal 27 Ayat 3 juncto Pasal 45 Ayat 1 UU ITE, penahanan dapat dilakukan, tetapi tidak berarti harus ditahan sepanjang tersangka tidak memenuhi kekhawatiran aparat penegak hukum sebagai syarat subyektif penahanan.

Dengan melihat kondisi obyektif Prita dan dengan bersandar pada keadilan dan nurani, kiranya kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, mengulangi perbuatan pidana, atau menghilangkan barang bukti dapat diabaikan sehingga tersangka tidak perlu ditahan.

Eddy OS Hiariej, Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM

Sumber: Kompas, Jumat, 5 Juni 2009

Label: ,

Prita "Lawan" RS Omni

Secara formal, pada umumnya penyedia layanan medis mengakui bahwa pasien mempunyai hak. Tetapi, dalam praktik, tidak banyak penyedia layanan medis yang memerhatikan atau bahkan memahami hal ini. Yang lebih sering diperhatikan hanyalah kewajiban pasien, terutama kewajiban untuk membayar.

Oleh: Kartono Mohamad

Hal ini terutama akibat pola hubungan tidak seimbang antara pasien dan dokter, dengan dokter pada posisi yang lebih kuat dan dominan. Seolah sudah menjadi paradigma bagi para dokter bahwa pasien harus tunduk, menurut kata dokter, dan tidak boleh mengajukan banyak pertanyaan. Pemahaman bahwa pasien mempunyai hak tidak diperoleh ketika dalam pendidikan sehingga mereka akan merasa aneh jika dalam praktik ada pasien yang menanyakan banyak hal.

Namun, kini ketentuan bahwa pasien punya hak sudah dikukuhkan dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dalam Pasal 52 disebutkan ada lima hak pasien, yaitu mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis, meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain, mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, menolak tindakan medis, dan mendapatkan isi rekam medis.

Banyak versi mengenai hak pasien ini, baik dari yang sudah menjadi UU maupun yang berupa pernyataan atau kesepakatan perkumpulan. World Medical Association mengeluarkan Deklarasi Hak Pasien dan American Hospital Association mempunyai A Patient’s Bill of Rights.

Semua pernyataan dan UU itu menyatakan, pasien mempunyai hak yang harus dihormati ketika ia berhadapan dengan penyedia layanan medis. Ada hal-hal yang disebut dalam UU atau deklarasi di negara lain yang belum secara eksplisit diutarakan oleh UU Praktik Kedokteran kita, yaitu hak pasien untuk memperoleh pelayanan yang tidak diskriminatif, hak untuk dihormati dan dilindungi privacy-nya, dan hak untuk secepat mungkin mendapatkan solusi atas komplain yang diajukan terhadap penyedia layanan.

Tujuan

Di Amerika Serikat, UU tentang hak pasien dihasilkan oleh US Advisory Commission on Consumer Protection and Quality in the Health Care Industry pada tahun 1998. Disebutkan, pada intinya tujuan Patient’s Bill of Rights adalah, pertama, membuat pasien merasa lebih percaya terhadap layanan kesehatan. Kedua, menjamin bahwa penyedia layanan kesehatan akan bersikap adil (fair). Ketiga, penyedia layanan akan berusaha memberikan layanan sesuai dengan kebutuhan pasien (works to meet patient’s needs). Keempat, membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien.

Betapapun, keberhasilan upaya penyembuhan pasien amat bergantung pada rasa percaya yang imbal balik antara pasien dan dokter. Kepercayaan inilah yang harus selalu dijaga oleh penyedia layanan medis. Tanpa ada rasa percaya dari pasien, tidak mungkin upaya penyembuhan akan berhasil. Kecuali jika tujuan penyediaan layanan bukan untuk membantu kesembuhan pasien, tetapi semata-mata untuk mencari keuntungan sebanyak dan secepat mungkin dengan memanfaatkan ketidaktahuan pasien.

Dalam mencoba memberikan layanan terbaik, penyedia layanan harus juga siap menghadapi konflik yang dapat terjadi. Konflik dapat terjadi antara perbedaan persepsi dokter dan pasien mengenai penyakit, adanya ekspektasi yang berlebihan dari pasien terhadap dokter, adanya perbedaan ”bahasa” dokter dengan pasien, dan ketidaksiapan dokter untuk menjalin komunikasi yang empatik. Perasaan sebagai kasta tersendiri yang berada di atas kasta pasien dapat berperanan terjadinya komunikasi yang tidak empatik tersebut.

Prita dan Omni

Kasus Prita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni adalah contoh telah hilangnya komunikasi yang empatik itu, yang kemudian merusak rasa saling percaya yang seharusnya dibina. Maka, jika tujuan pelayanan kepada Prita adalah untuk membantu menyembuhkannya dari penyakit, tujuan itu telah gagal. Jika ditanyakan siapa yang bersalah dalam hal ini, kedua pihak akan mengklaim sebagai yang benar. Prita mempersoalkan mengapa hasil laboratorium yang menyatakan bahwa trombositnya 27.000 tidak boleh dilihat. Pihak RS Omni menyatakan, hal itu belum divalidasi, jadi masih rahasia. Menjadi pertanyaan, jika masih rahasia, mengapa Prita sudah mengetahuinya? Bukankah saat ia dianjurkan untuk dirawat, ada dokter yang menjelaskan trombositnya 27.000?

Rasa percaya Prita sebagai pasien menjadi lebih menurun lagi saat pertanyaannya tentang obat suntik yang diberikan tidak mendapat jawaban yang jelas. Mungkin pertanyaan Prita yang bertubi-tubi membuat pihak RS Omni tidak berkenan. Maka, rusaklah hubungan saling percaya antara penyedia layanan dan yang dilayani. Masalah melebar menjadi pengungkapan kekesalan melalui e-mail dan perasaan tersinggung dari pihak RS Omni yang merasa dicemarkan nama baiknya.

Persoalan yang bermula dari pertanyaan sederhana dari seorang pasien yang ingin tahu dan merasa meminta haknya berkembang menjadi masalah yang ruwet karena pihak RS Omni membalas e-mail Prita dengan iklan besar-besar di koran.

Kesan orang awam, dan mereka yang tidak tahu masalahnya karena tidak membaca e-mail, telah terjadi unjuk kekuatan yang tentu saja tidak imbang. Hal itu diperburuk dengan ditahannya Prita di penjara Tangerang. Seandainya saja saat itu RS Omni bertindak simpatik dan meminta agar Prita jangan ditahan karena mempunyai anak yang masih kecil, keadaan mungkin justru akan berbalik.

Pelajaran

Yang telah terjadi di Tangerang itu membuktikan bahwa pada umumnya penyedia layanan medis di negeri ini belum berorientasi pada kepentingan atau kepuasan pasien. Orientasi pada mutu layanan juga belum menjadi acuan.

Kalau menurut Charles B Inlander dalam buku Medicine on Trial, masih banyak medical ineptitude and arrogance yang membayangi penyedia layanan medis. Perbaikan pertama-tama harus datang dari pihak kalangan kedokteran sendiri, kemudian asosiasi rumah sakit, dan pemerintah.

Kartono Mohamad, Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia

Sumber: Kompas, Kamis, 4 Juni 2009

Label: ,