Puasa dan Teori Ruth-Hurwith

Ber-Islam adalah memiliki dan melakukan Al Islam. Para ulama sering menyampaikan bahwa ber-Islam itu mudah. Ini adalah ajakan atau cara dakwah yang sangat optimistik. Tidak membuat kita menjadi merasa, asal ada niat, jadilah. Ber-Islam sering disederhanakan sebagai beramal saleh. Siapa yang belum beramal saleh mereka belum ber-Islam. Sehingga, untuk ber-Islam yang baik, kita harus banyak melakukan amal saleh.

Oleh Imam Robandi

Banyak ayat dalam Alquran yang menjelaskan amal saleh. Amal saleh adalah pekerjaan yang baik (ma'ruf), yang mengacu pada sumber primer Al Islam, yaitu Alquran dan Hadis. Manusia harus percaya dulu bahwa pekerjaan yang akan dilakukannya adalah pekerjaan yang baik, bukan yang menyimpang (munkar). Ini yang disebut manusia yang beriman (mukmin). Menjadi manusia beriman adalah pintu gerbang awal seorang manusia untuk ber-Islam.

Apa pun yang akan dilakukan kita harus mempunyai bekal iman (percaya) sebagai tiketnya. Amal saleh adalah produk manusia yang sudah ber-Islam (muslim), sehingga di dalam Al Islam, manusia yang beriman diberi tugas maksimal agar menjadi muslim sebelum meninggalkan dunia ini (QS 3:102). Ini adalah cita-cita maksimal dalam berjuang untuk menjadi muslim, yaitu manusia yang memiliki dan mengamalkan Al Islam.

Pada Ramadan, manusia yang beriman diwajibkan oleh Allah swt untuk berpuasa agar berubah statusnya menjadi manusia yang bertakwa (muttaqien) (QS 2:183). Sebagai proses, berpuasa akan menghasilkan keimanan sebagai input. Output-nya adalah sebagai manusia kita akan menjadi bertakwa. Beriman, berpuasa, dan bertakwa adalah variabel ber-Islam dalam satu sistem. Oleh sebab itu, berpuasa adalah perbuatan saleh di hadapan Tuhan (Rabb) yang harus dilalui setiap mukmin untuk mencapai takwa. Berpuasa Ramadan ibarat sebuah matriks sistem besar, yang di dalamnya terdiri atas berbagai parameter amal saleh, dan juga variabel keadaan (state vaiable) yang akan menentukan perilaku luaran.

Mengapa puasa Ramadan menjadi sangat sentral maknanya, sehingga dapat mencetak orang menjadi bertakwa? Ada tiga tinjauan sistem yang perlu kita cermati.

Pertama, ia akan berfungsi mengecek keterkontrolan diri (self controlability). Keterkontrolan diri adalah satu syarat wajib dalam sebuah sistem agar sistem dapat berjalan dengan baik. Sistem secanggih apa pun tidak dapat melakukan perbaikan performansi jika tidak mempunyai keterkontrolan. Keterkontrolan harus selalu diasah agar seorang mukmin menerima ajaran-ajaran Al Islam dengan baik. Keterkontrolan ini akan sangat sensitif dalam rangka membedakan sinyal-sinyal perbuatan baik (hak) dan yang tidak baik (bathil).

Kedua adalah keteramatan (observability). Keteramatan adalah proses perenungan sinyal-sinyal Nur Ilahi yang memengaruhi hidupnya. Karena itu, ia membutuhkan ketenangan, hati terutama. Setiap hari banyak sekali sinyal keluar masuk pada diri manusia. Bahkan, ada jutaan yang tidak sempat tersensor oleh indra kita. Ada yang berkembang, melonjak (transient), stagnan (steady state), ada yang lenyap, dan bahkan ada yang berisolasi. Hasil menjadi orang mukmin yang peka terhadap sesama setelah Ramadan adalah bentuk peningkatan keteramatan sistem.

Yang ketiga adalah kestabilan. Manusia akan dapat mengenali sinyal-sinyal kebaikan (state variable) secara tepat kalau dalam kondisi stabil. Jika kita menganggap bahwa manusia adalah sebuah sistem, menggeser letak eigenvalues (titik penentu kestabilan) dari kanan menunju ke sebelah kiri sumbu imajiner adalah bagian dari puasa Ramadan. Karena, dalam teori Ruth-Hurwith, sebuah sistem akan stabil jika mempunyai nilai eigenvalues di sebelah kiri sumbu imajiner dari perumusan matematika. Jika hasil puasa telah mencetak manusia beriman yang sabar, eigenvalues sudah dapat digeser dari sebelah kanan menuju ke sebelah kiri sumbu imajiner.

Keterkontrolan, keteramatan, dan kestabilan adalah syarat utama untuk mencetak manusia beriman agar menjadi bertakwa melalui input dan proses yang benar. Jika manusia dapat dimodelkan dalam bentuk matematika, persamaan state space (ruang keadaan) seorang manusia dalam bentuk matriks sebelum dan sesudah berpuasa akan berbeda. (*)

Imam Robandi, Guru Besar Bidang Sistem Kendali Energi Listrik, ITS

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 22 Agustus 2010

Label: , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda