Pendidikan Vokasi
Tampaknya istilah vokasi digunakan untuk program pendidikan menggantikan istilah profesional atau profesi.
Istilah vokasi mungkin diturunkan dari bahasa Inggris, vocation, sama artinya dengan profession. Di AS, vokasi digunakan untuk menyebut pengelompokan sekolah kejuruan seperti di sini. Sistem pendidikan tinggi di Indonesia dipilah untuk akademik dan profesional atau vokasi.
Oleh Sjamsoe’oed Sadjad
Dari tingkatan S-1 sampai S-3, arahan akademik di perguruan tinggi di negeri ini lebih mapan, meluluskan jenjang sarjana, magister, dan doktor. Program pascasarjana untuk berbagai bidang ilmu telah berkembang lama. Sebaliknya untuk vokasi umumnya masih pantok sampai tingkatan D-3 dan amat jarang yang menyelenggarakan program D-4, apalagi program pascaprofesional atau pascavokasi. Padahal, untuk jenjang itu terbuka.
Ketika Prof Juwono Sudarsono menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pernah dikeluarkan peraturan menteri atau keputusan menteri yang mengatur dua jalur dalam pendidikan tinggi, yakni jalur akademik dan profesi. Pada jalur profesi dicantumkan dalam perundang-undangan, jumlah SKS yang harus ditempuh mahasiswa untuk mencapai jenjang D-1 sampai D-4, bahkan dari D-4 untuk mencapai spesialis satu dan spesialis dua di tingkat pendidikan pasca masing-masing lulusan jenjang D-4 setingkat sarjana, sedangkan spesialis satu dan spesialis dua masing-masing setingkat magister dan doktor.
Berbeda Pelaksanaan
Sebagai pandangan umum (yang telanjur tidak benar) pelaksanaan program diploma atau katakan itu sama dengan program profesional atau program vokasi, menjadi ”jalan lain” untuk memasuki jalur akademik. Dari D-3, banyak lulusan yang tidak bekerja sesuai pendidikan vokasinya, lalu berusaha pindah jalur melanjutkan sekolah untuk mendapat jenjang kesarjanaan melalui jalur akademik. Bahkan, tidak sedikit yang mengambil program studi lain, meski pindah jalur ini akan makan banyak waktu, biaya, dan energi.
Hal ini bisa dipandang amat merugikan, baik dari segi pembiayaan perguruan tinggi, pembiayaan orangtua mahasiswa, maupun dari kepentingan pengembangan profesi yang seharusnya bisa ditingkatkan dengan banyaknya lulusan program profesional perguruan tinggi dalam profesi itu. Kondisi itu lalu seperti menjadi ”salah kaprah” sehingga keputusan suatu perguruan tinggi yang menutup kesempatan ”pindah jalur” tiba-tiba menjadi amat mengejutkan atau mengecewakan mahasiswa. Sebab, sebelumnya tidak diprogramkan bagi pelaksanaan pelanjutan jenjang D-3 ke D-4 dalam suatu program vokasi tertentu.
Konsekuensi mendirikan program diploma bagi suatu vokasi harus terpikirkan sampai program D-4, bahkan sampai pendidikan pasca untuk mencapai jenjang spesialis satu dan spesialis dua. Kenyataan lain, adanya program ekstensi yang merupakan pelaksanaan program ”pindah jalur” di suatu perguruan tinggi yang sama.
Program ini hendaknya ditinjau kembali jika pendidikan vokasi hendak dikembangkan dalam suatu perguruan tinggi. Konsekuensinya perlu dikembangkan SDM pengajarnya untuk sampai pelayanan di tingkat pasca, dengan pendidikan lanjutan, jika perlu ke luar negeri. Tidak berbeda dengan pengembangan SDM pengajar untuk jalur akademik dulu.
Seperti setengah hati
Pelaksanaan program pendidikan vokasi di perguruan tinggi ini seperti ”setengah hati” atau ”setengah jadi”. Mudah-mudahan konotasi seperti itu hanya mengada-ada. Memang perlu pemikiran lebih mendalam dengan dasar, pembangunan negeri ini memerlukan kompetensi kesarjanaan dan keprofesionalan, bahkan untuk keprofesionalan dibutuhkan lebih banyak.
Seorang sarjana di suatu ilmu harus berbeda dengan seorang profesional di bidang keilmuan itu. Kompetensi seorang sarjana farmasi tentu berbeda dengan keprofesionalan seorang apoteker. Di bidang ilmu benih, seorang sarjana ilmu benih, katakan misalnya fisiolog benih, berbeda kompetensinya dengan seorang profesional produsen atau analis benih di industri benih.
Di bidang ilmu lain tentu bisa dilahirkan kurikulum pendidikan berbeda guna melahirkan seorang sarjana dan seorang profesional. Saat ini mungkin yang umumnya dipegang sebagai perbedaan adalah rasio antara jumlah pelajaran teori dan praktikanya. Padahal, seharusnya bukan hanya sampai sedangkal itu. Harus pula didalami apa yang akan dikerjakan lulusan nanti di masyarakat. Baru disusun kurikulum yang tepat. Dengan demikian, akan lebih jelas bagaimana kompetensi seorang sarjana dan profesional dalam suatu cabang keilmuan.
Akan lebih adil dan manusiawi jika keduanya bisa mencapai setinggi-tingginya martabat dalam hidupnya sesudah keluar dari pendidikan tinggi, baik sebagai sarjana maupun profesional. Semoga kondisi ”setengah hati” atau ”setengah jadi” itu tidak benar 100 persen.
Sjamsoe’oed Sadjad, Guru Besar Emeritus IPB
Sumber: Kompas, Senin, 6 Juli 2009
Label: artikel, kabar kabari, pendidikan vokasi
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda