Say YES to GAMBARU!
Terus terang aja, satu kata yang bener-bener bikin muak jiwa raga setelah tiba di Jepang dua tahun lalu adalah: GAMBARU alias berjuang mati-matian sampai titik darah penghabisan.
Muak abis, sumpah, karena tiap kali bimbingan sama prof, kata-kata penutup selalu: motto gambatte kudasai (ayo berjuang lebih lagi), taihen dakedo, isshoni gambarimashoo (saya tau ini sulit, tapi ayo berjuang bersama-sama), motto motto kenkyuu shitekudasai (ayo bikin penelitian lebih dan lebih lagi).
By Rouli Esther Pasaribu (14 Maret 2011, jam 12:02)
Sampai gw rasanya pingin ngomong, apa ngga ada kosa kata lain selain GAMBARU apaan kek gitu, yang penting bukan gambaru.
Gambaru itu bukan hanya sekadar berjuang cemen gitu-gitu aja yang kalo males atau ada banyak rintangan, ya udahlah ya... berhenti aja.
Menurut kamus bahasa jepang sih, gambaru itu artinya: doko made mo nintai shite doryoku suru (bertahan sampai kemana pun juga dan berusaha abis-abisan).
Gambaru itu sendiri, terdiri dari dua karakter yaitu karakter 'keras' dan 'mengencangkan'. Jadi image yang bisa didapat dari paduan karakter ini adalah "mau sesusah apapun itu persoalan yang dihadapi, kita mesti keras dan terus mengencangkan diri sendiri, agar kita bisa menang atas persoalan itu" (maksudnya jangan manja, tapi anggap semua persoalan itu adalah sebuah kewajaran dalam hidup, namanya hidup emang pada dasarnya susah, jadi jangan ngarep gampang, persoalan hidup hanya bisa dihadapi dengan gambaru, titik).
Terus terang aja, dua tahun gw di Jepang, dua tahun juga gw ngga ngerti, kenapa orang2 jepang ini menjadikan gambaru sebagai falsafah hidupnya.
Bahkan anak umur 3 tahun kayak Joanna pun udah disuruh gambaru di sekolahnya, kayak pake baju di musim dingin mesti yang tipis2 biar ngga manja terhadap cuaca dingin, di dalam sekolah ngga boleh pakai kaos kaki karena kalo telapak kaki langsung kena lantai itu baik untuk kesehatan, sakit2-sakit dikit cuma ingus meler-meler atau demam 37 derajat mah ngga usah bolos sekolah, tetap dihimbau masuk dari pagi sampai sore, dengan alasan, anak akan kuat menghadapi penyakit jika ia melawan penyakitnya itu sendiri.
Akibatnya, kalo naik sepeda di tanjakan sambil bonceng Joanna, dan gw ngos-ngosan kecapean, otomatis Joanna ngomong: Mama, gambare! mama faitoooo! (mama ayo berjuang, mama ayo fight!).
Pokoknya jangan manja sama masalah deh, gambaru sampe titik darah penghabisan it's a must!
Gw bener2 baru mulai sedikit mengerti mengapa gambaru ini penting banget dalam hidup, adalah setelah terjadi tsunami dan gempa bumi dengan kekuatan 9.0 skala Richter di Jepang bagian timur. Gw tau, bencana alam di Indonesia seperti tsunami di Aceh, Nias dan sekitarnya, gempa bumi di Padang, letusan gunung Merapi.... juga bukanlah hal yang gampang untuk dihadapi. Tapi, tsunami dan gempa bumi di Jepang kali ini, jauuuuuh lebih parah dari semuanya itu. Bahkan, ini adalah gempa bumi dan tsunami terparah dan terbesar di dunia.
Wajaaaaaaar banget kalo kemudian pemerintah dan masyarakat Jepang panik kebingungan karena bencana ini. Wajaaaaar banget kalo mereka kemudian mulai ngerasa galau, nangis-nangis, ga tau mesti ngapain.
Bahkan untuk skala bencana sebesar ini, rasanya bisa 'dimaafkan' jika stasiun-stasiun TV memasang sedikit musik latar ala lagu-lagu Ebiet dan membuat video klip tangisan anak negeri yang berisi wajah-wajah korban bencana yang penuh kepiluan dan tatapan kosong tak punya harapan.
Bagaimana tidak, tsunami dan gempa bumi ini benar-benar menyapu habis seluruh kehidupan yang mereka miliki. Sangat wajar jika kemudia mereka tidak punya harapan.
Tapi apa yang terjadi pasca bencana mengerikan ini?
Dari hari pertama bencana, gw nyetel TV dan nungguin lagu-lagu ala Ebiet diputar di stasiun TV. Nyari-nyari juga di mana rekening dompet bencana alam. Video klip tangisan anak negeri juga gw tunggu2in. Tiga unsur itu (lagu ala Ebiet, rekening dompet bencana, video klip tangisan anak negeri), sama sekali ngga disiarkan di TV.
Jadi yang ada apaan dong?
Ini yang gw lihat di stasiun-stasiun TV:
- Peringatan pemerintah agar setiap warga tetap waspada
- Himbauan pemerintah agar seluruh warga Jepang bahu membahu menghadapi bencana (termasuk permintaan untuk menghemat listrik agar warga di wilayah Tokyo dan Tohoku ngga lama-lama terkena mati lampu)
- Permintaan maaf dari pemerintah karena terpaksa harus melakukan pemadaman listrik terencana
- Tips-tips menghadapi bencana alam
- Nomor telepon call centre bencana alam yang bisa dihubungi 24 jam
- Pengiriman tim SAR dari setiap perfektur menuju daerah-daerah yang terkena bencana
- Potret warga dan pemerintah yang bahu membahu menyelamatkan warga yang terkena bencana (sumpah sigap banget, nyawa di Jepang benar-benar bernilai banget harganya)
- Pengobaran semangat dari pemerintah yang dibawakan dengan gaya tenang dan tidak emosional: mari berjuang sama-sama menghadapi bencana, mari kita hadapi (government official pake kata norikoeru, yang kalo diterjemahkan secara harafiah: menaiki dan melewati) dengan sepenuh hati
- Potret para warga yang terkena bencana, yang saling menyemangati:
- ada yang nyari istrinya, belum ketemu2, mukanya udah galau banget, tapi tetap tenang dan ngga emosional, disemangati nenek2 yang ada di tempat pengungsian: gambatte sagasoo! kitto mitsukaru kara. Akiramenai de (ayo kita berjuang cari istri kamu. Pasti ketemu. Jangan menyerah)
- Tulisan di Twitter: ini gempa terbesar sepanjang sejarah. Karena itu, kita mesti memberikan usaha dan cinta terbesar untuk dapat melewati bencana ini;
Itu bintang yang sangat indah. Warga Sendai, lihatlah ke atas.
Sebagai orang Indonesia yang tidak pernah melihat cara penanganan
bencana ala gambaru kayak gini, gw bener-bener merasa malu dan di saat
yang bersamaan: kagum dan hormat banget sama warga dan pemerintah Jepang.
Ini negeri yang luar biasa, negeri yang sumber daya alamnya terbatas
banget, negeri yang alamnya keras, tapi bisa maju luar biasa dan punya
mental sekuat baja, karena: falsafah gambaru-nya itu.
Bisa dibilang, orang-orang Jepang ini ngga punya apa-apa selain GAMBARU. Dan, gambaru udah lebih dari cukup untuk menghadapi segala persoalan dalam hidup.
Bener banget, kita mesti berdoa, kita mesti pasrah sama Tuhan. Hanya, mental yang apa-apa 'nyalahin' Tuhan, bilang2 ini semua kehendakNya, Tuhan marah pada umatNya, Tuhan marah melalui alam maka tanyalah pada rumput yang bergoyang.....
I guarantee you 100 percent, selama masih mental ini yang berdiam di dalam diri kita, sampai kiamat sekalipun, gw rasa bangsa kita ngga akan bisa maju.
Kalau ditilik lebih jauh, 'menyalahkan' Tuhan atas semua bencana dan
persoalan hidup, sebenarnya adalah kata lain dari ngga berani bertanggungjawab terhadap hidup yang dianugerahkan Sang Pemilik Hidup.
Jika diperjelas lagi, ngga berani bertanggungjawab itu maksudnya: lari dari masalah, ngga mau ngadepin masalah, main salah-salahan, ngga mau
berjuang dan baru ketemu sedikit rintangan aja udah nangis manja.
Kira-kira setahun yang lalu, ada sanak keluarga yang mempertanyakan,
untuk apa gw menuntut ilmu di Jepang. Ngapain ke Jepang, ngga ada
gunanya, kalo mau S2 atau S3 mah, ya di Eropa atau Amerika sekalian,
kalo di Jepang mah nanggung. Begitulah kata beliau.
Sempat terpikir juga akan perkataannya itu, iya ya, kalo mau go
international ya mestinya ke Amrik atau Eropa sekalian, bukannya Jepang ini. Toh sama-sama Asia, negeri kecil pula dan kalo ga bisa bahasa Jepang, ngga akan bisa survive di sini.
Sampai sempat nyesal juga, kenapa gw ngedaleminnya sastra Jepang dan bukan sastra Inggris atau sastra barat lainnya.
Tapi sekarang, gw bisa bilang dengan yakin sama sanak keluarga yang
menyatakan ngga ada gunanya gw nuntut ilmu di Jepang.
Pernyataan beliau adalah salah sepenuhnya. Mental gambaru itu yang paling megang adalah Jepang. Dan menjadikan mental gambaru sebagai way of life adalah lebih berharga daripada go international dan sejenisnya itu.
Benar, sastra Jepang, gender dan sejenisnya itu, bisa dipelajari di mana saja. Tapi, semangat juang dan mental untuk tetap berjuang
abis-abisan biar udah ngga ada jalan, gw rasa, salah satu tempat yang
ideal untuk memahami semua itu adalah di Jepang.
Dan gw bersyukur ada di sini, saat ini. Maka, mulai hari ini, jika gw
mendengar kata gambaru, entah di kampus, di mall, di iklan-iklan TV, di supermarket, di sekolahnya joanna atau di mana pun itu, gw tidak akan lagi merasa muak jiwa raga.
Sebaliknya, gw akan berucap dengan rendah hati: Indonesia jin no watashi ni gambaru no seishin to imi wo oshietekudasatte, kokoro kara kansha itashimasu. Nihon jin no minasan >no yoo ni, gambaru seishin wo mi ni tsukeraremasu yoo ni, hibi gambatteikitai to omoimasu. (Saya ucapkan terima kasih dari dasar hati saya karena telah mengajarkan arti dan mental gambaru bagi saya, seorang Indonesia. Saya akan berjuang tiap hari, agar mental gambaru merasuk dalam diri saya, seperti kalian semuanya, orang-orang Jepang).
Say YES to GAMBARU!
Sumber: http://agushermawan.com
Label: artikel, esther pasaribu, falsafah, gambaru
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda